“The miracle isn’t that I finished. The miracle is that I had the courage to start. - John Bingham
Pernahkah kamu merasa begitu ingin melakukan sesuatu sampai-sampai merasa tertekan bila tidak melakukannya? Merasa panas dan terbakar di dalam dirimu saat kau menunda-nunda melakukannya? Aku merasakannya kali ini.
Berawal dari aku sering beli kue-kue segala rupa di depan sekolahan di dekat kosanku setiap pagi untuk bahan sarapan. Aku sangat mensyukuri keberadaan tukang kue itu. Dia menjual bermacam-macam roti dan kue-kue kecil tradisional khas Indonesia dan aku menyukai semua jenis produknya. Sejak pertama kali aku melihat produk-produknya aku sudah bekerja di kantor baru dan sempat terbersit pikiran untuk menjual juga kue-kue itu di kantor baru. Namun karena mengingat aku masih anak baru dan masih dalam tahap probation, jadilah niat itu hanya tinggal niat di dalam pikiranku.
Di kantor yang baru itu, ada sebuah pantry, tempat berkumpulnya para karyawan untuk makan siang atau sekedar mengambil air minum atau untuk mencuci gelas dan piring. Di pantry itu sudah ada beberapa karyawan yang berjualan. Si A berjualan kerupuk dan si B berjualan sejenis biskuit mirip Oreo tapi bukan Oreo. Hal itu membuat keinginan untuk berjualan kue-kuean semakin mendukung.
Hal lain yang sering kurasakan secara pribadi adalah kelaparan yang melanda di jam-jam kerja di pagi menjelang siang dan di sore menjelang pulang kerja. Menemukan aneka cemilan di kantor dan di sekitar kantor lumayan sulit. Di sekitar kantor emang banyak pihak yang berjualan, namun jualan makanan berat semua. Ada Warteg, ada Warung Jogja dan ada RM. Padang. Hmm.. masa gue ngemil pake nasi padang 😀.
Namun semua kenyataan itu ternyata belum cukup kuat untuk menggerakkanku. Sampai tibalah aku pada suatu kenyataan, bahwa ternyata penghasilan yang kuperoleh dari bekerja di kantor itu tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidupku yang semakin besar dengan kenaikan-kenaikan harga BBM dan dengan biaya kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Waktu itu aku juga memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke S1, jadi biaya hidup semakin meningkat. Selain itu, aku mulai rutin mengirim dana ke mami dalam jumlah yang juga meningkat walaupun penghasilanku sebenarnya tidak meningkat sebesar itu. Namun...puji Tuhan, aku bersyukur, sebenarnya semua kebutuhanku selalu tercukupi walau dengan pengeluaran yang besar tersebut. Tapi kebutuhan tercukupi saja bukan keadaan ideal. Karena kebutuhan yang tercukupi tersebut masih dalam batas kebutuhan primer 😀. Aku harus memutar otak untuk menemukan jalan keluar.
Faktor pendorong yang lumayan menyadarkanku juga adalah kenyataan bahwa ternyata perusahaan tidak memberikan kenaikan gaji pada karyawan pada tahun itu karena kondisi perusahaan yang sepertinya juga lagi sulit ketika itu, membuat pihak manajemen lebih memilih tidak memberikan kenaikan gaji daripada memberikan kenaikan gaji dan besoknya pailit. Aku tidak menyalahkan keputusan mereka itu. Mereka pasti punya kebijakan sendiri. Dan sesuai dengan kisah yang diceritakan teman-teman yang sudah lama bekerja di sana, perusahaan itu merupakan perusahaan yang tidak pelit membagi-bagikan hasil bila keuntungannya sedang tinggi. Karena itu sudah dialami oleh mereka sendiri sebelum-sebelumnya. Aku juga percaya, bahwa gaji yang seberapapun bila Tuhan yang memberkati dan memelihara aku, aku tidak akan berkekurangan. Dan bila Tuhan memang menganggapku layak untuk menerima kenaikan gaji, pastilah Tuhan akan ngasih jalan untuk itu.
Dan melalui perenungan yang panjang, aku mendapatkan perspektif baru. Itu bukan tanggung jawab suatu perusahaan dimana aku bekerja untuk menjamin hidupku makmur atau tidak. Untuk menjamin segala tingkatan kebutuhan dalam hidupku terpenuhi atau tidak. Itu adalah tanggung jawabku sendiri dan aku tak boleh menyalahkan perusahaan. Bila yang kulakukan adalah mencari kerja dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendapatkan kenaikan gaji, mau sampai kapan aku akan begitu? Dan satu sisi, aku tak ingin pergi dari perusahaan ini karena aku menyukai pekerjaanku, aku menyukai orang-orangnya dan aku tak ada masalah lain selain masalah dana. Jadi solusinya hanya satu, mencari bisnis sampingan.
Ada beberapa alternatif bisnis sampingan yang bisa aku lakukan. Aku pernah diajak oleh seorang teman untuk mengikuti jejaknya berbisnis jam tangan yang telah mampu membuatnya hidup berswasembada pangan. Aku tertarik juga dengan usulan itu mengingat keuntungannya lumayan menggoda. Tapi hal itu butuh dana yang lumayan. Harga jam tangan itu lumayan-lumayan mahal. Aku butuh persiapan dana khusus untuk itu.
Ada juga peluang usaha dari seorang teman kampusku yang mengajakku bisnis online untuk pakaian-pakaian wanita yang dia peroleh dari temannya di Bandung. Aku tertarik dengan hal itu, karena menurutku lumayan simpel. Cukup dengan membuat grup di hape (waktu itu masih menggunakan Blackberry) dan mempublish gambar-gambar produk secara berkala dan bila ada orderan akan diurusi oleh pihak si pemilik bisnis online itu. Aku mencoba untuk bebepa waktu namun merasa kurang sreg dengan hal itu.
Satu sisi, aku tidak menyukai jenis-jenis produknya. Emang sih, untuk berjualan, bukan mengikuti seleraku, tapi selera pasar. Tapi secara pribadi aku merasa, gimana aku bisa mempromosikan dengan berapi-api sesuatu yang aku sendiri tak yakin ingin beli?
Hal lain juga yang membuatku kurang bersemangat adalah kelamaan respon dari supplier saat aku membeli sampel suatu produk. Aku ingin menjadi pembeli pertama untuk meyakinkan bahwa produk ini berkualitas, layak dijual dan layak dibeli oleh teman-temanku. Sekitar 2 minggu tidak kunjung datang, dan kuputuskan untuk berhenti mengurusi bisnis online itu. Aku tidak ingin membohongi khalayak ramai dengan mengatakan bagus suatu produk yang bahkan belum pernah kusentuh.
Dan karena alternatif2 lain itu tampak tidak begitu sreg di hati, akhirnya niat untuk jualan kue-kue semakin seperti memaksaku untuk mengambil tindakan. Itu adalah bisnis termudah, dengan modal terkecil dan keuntungan yang bisa langsung dinikmati. Kalau selama ini hanya sebatas niat kecil-kecilan, semakin hari niat itu semakin bertumbuh besar. Aku memikirkan hal itu setiap saat dan aku berperang dalam hati. Satu sisi aku merasa itu terlalu kecil-kecilan dan terkesan tidak keren. Di sisi lain aku merasa itu bisnis yang tepat untuk hasil yang cepat meskipun tidak terlalu besar-besaran. Aku memikirkan segala kemungkinan bahwa itu akan gagal. Namun, segala kemungkinan akan sukses juga datang dengan opini-opininya yang jauh lebih meyakinkan. Membuatku tidak berdaya menghadapi peperangan di dalam diriku sendiri. Aku merasa seperti ada suatu roh dalam diriku yang marah-marah inside. Seperti tidak sabar dengan kelambatanku dan seperti memaksa ingin keluar dari tubuhku, seakan-akan dia ingin mengerjakan sendiri apa yang dia inginkan karena aku tak kunjung bertindak.
Aku akhirnya mengambil tindakan. Aku mulai mengumpulkan informasi dari penjual kue-kue itu, dimana mereka belanja dan mulai menggembar gemborkan kepada teman-teman di kantor bahwa aku akan berjualan kue. Terus terang ini adalah salah satu caraku untuk membuatku bergerak menuju apa yang ingin kulakukan, tapi yang masih enggan aku lakukan. Karena bila aku sudah gembar-gembor ke pihak lain, aku akan merasa lebih bertanggung jawab untuk membuktikan ucapan-ucapan itu. Menjaga arti sebuah integritas.
Aku beruntung, di kosan itu ada seorang wanita yang bernama Kak P. Dia sudah berumur sekitar 30 an tahun dan masih single. Dia orangnya pendiam dan sepertinya lumayan serius. Aku lumayan segan padanya karena itu. Namun beberapa kesempatan ngobrol dengannya, dia sebenarnya baik hati. Dia lulusan Sekolah Tinggi Teologia dan sepertinya lumayan solehah. Dia biasa berjualan kue juga ke kantor dan dia belanja di Pasar Pagi Senen. Aku memaksa diriku untuk memberanikan diri bertanya kepadanya soal belanja-belanja kue itu. Sungguh suatu pertolongan Tuhan, dia sangat menyambut baik niatku dan sangat semangat mengajariku bagaimana tehnik-teknik berjualan kue sesuai dengan pengalamannya yang panjang. Dia sudah melakukan usaha itu selama tahunan dan dia mengatakan dengan bangga dan yakin bahwa dia bisa mendapatkan penghasilan sekian kali lebih besar dari gaji bulanannya. Sungguh menarik!
Akhirnya dia menawarkan aku untuk ikut belanja dengannya keesokan harinya. Aku sudah tau dari awal bahwa dia biasa belanja jam 4 subuh. Dan aku sudah mempertimbangkan juga keadaan itu saat dia mengatakan bahwa keesokan harinya kita harus belanja jam setengah 4 subuh. Aku oke dengan hal itu. Walaupun sebenarnya bangun pagi adalah suatu perjuangan berat bagiku. Alarm memang selalu berbunyi tiap jam 5, namun itu hanya sebatas bunyi. Alarm itu tidak pernah berhasil membuatku bangun dari tidurku yang super pules. Namun, semangat jualan kueku yang sudah tak terbendung membuatku merelakan jam tidurku berkurang dengan bangun jam tengah 4 dan berbelanja.
Malam itu aku tidak tidur nyenyak. Aku takut kalau-kalau aku bangun kesiangan dan ditinggalin oleh Kak P. Aku sudah memasang alarm jam setengah 4 dengan tingkat volume suara tertinggi. Aku juga berdoa biar Tuhan membangunkanku di jam yang ditentukan itu.
Aku terbangun jam 3 pagi. Aku terbangun full dengan sinar mata terang benderang tanpa sisa-sisa kengantukan sedikitpun. Aku bangkit dan memakai kostum tertutup, jaket dan celana panjang dan langsung bergerak setelah mendengar suara panggilan Kak P. Pagi yang dingin, berjalan di sekitaran kosan jam tengah 4 subuh, adalah suatu pengalaman baru bagiku. Bersyukur aku tinggal di daerah yang lumayan ramai dan sibuk 24 jam. Sepanjang jalan itu walaupun tidak seramai biasanya, namun cukuplah untuk membuatku berani berjalan-jalan di tengah subuh. Ada beberapa warung makan yang buka 24 jam dan ada beberapa tukang ojek yang juga beroperasi 24 jam di persimpangan jalan. Keberadaan manusia lain di sekitar jalan itu membuatku tidak takut. Apalagi aku bersama dengan Kak P.
Kami menuju pasar dengan menaiki mikrolet M01 jurusan Senen – Kampung Melayu. Tiba di Pasar Pagi Senen, suasana di sana sungguh berbeda dengan suasana pasar di siang hari. Para pedagang segala jenis makanan kecil dan roti-roti berjejer di sana dan memajang aneka makanan dengan tampilan yang menggugah selera. Aku memandangi semua itu dengan takjub dan ‘momar’ (istilah dalam Bahasa Batak). Rasanya seperti ingin membeli semua kue-kue itu dan membawanya pulang ke rumah.
Kak P yang sudah banyak makan asam garam, mengajakku untuk mutar-mutar melihat-lihat jenis-jenis kue dan roti yang mungkin untuk dijual ke kantor. Dia merekomendasikan beberapa supplier yang menurut pengalamannya memiliki kualitas produk yang OK. Dia juga mengajariku memilih-milih roti yang kualitasnya masih baik. Sebelumnya aku sangat tidak tau, bagaimana itu roti yang masih baru, atau roti yang sudah lama. Aku langsung dibutakan oleh tampilan roti-roti yang menggoda iman itu. Bentuk dan rasanya bermacam-macam dan aku membelinya untuk dijual. Aku ingin membeli semua kalau saja aku tidak ingat bahwa itu adalah hari pertama jualanku, dimana itu masih untuk tahap perkenalan produk ke teman-teman di kantor ku.
Aku menemukan segala jenis kue yang biasa aku lihat dijajakan oleh si tukang kue di depan sekolahan yang biasa aku beli untuk sarapan, bahkan lebih banyak dari itu.Harganya juga lumayan murah-murah dan benar-benar didedikasikan untuk reseller. Kak P mengajariku cara menentukan harga jual yang baik dan benar. Bagaimanapun, berjualan adalah untuk mencari keuntungan, bukan untuk beramal atau menjual kue sama dengan harga belinya. Akupun mulai mengira-ngira berapa seharusnya suatu kue dijual comparing dengan harga belinya. Kata Kak P yang utama adalah jualan bisa habis terjual dan cashflow bisa berjalan lancar, walau dengan keuntungan yang tidak terlalu besar-besaran.
Niat muliaku dalam berjualan kue adalah memberikan pilihan cemilan enak, sehat, bergizi dan berharga terjangkau bagi kebaikan teman-temanku di kantor. Niat lain adalah, memberikan kue-kue pada para pihak yang tidak mampu tanpa merasa terlalu bersalah.
Mengenai hal ini, ada sedikit hal yang ingin kusampaikan. Seperti yang tadi aku sudah bilang, aku sebelumnya setiap pagi sering membeli berbagai jenis kue dan makanan untuk sarapan di kantor. Pada suatu hari, pada saat perjalanan dari kosan ke terminal Senen, untuk naik Kopaja 20, di jembatan penyeberangan aku bertemu dengan seorang wanita tua. Dia duduk di atas jembatan penyeberangan itu dengan gaya duduk sebagaimana para pengemis pada umumnya. Duduk dengan kaki ditekuk di depan dan sebuah gelas plastik diletakkan di depan kakinya. Tangannya menengadah dengan pandangan kosong pada setiap orang yang melintas di depannya. Suatu pemandangan yang biasa kudapati di Jakarta ini.
Pagi itu, aku habis membeli sebungkus nasi uduk dengan penuh selera. Aku sudah memikirkan bahwa nasi uduk itu akan sangat nikmat dimakan di pantry kantor bersama teman-temanku pagi itu. Nasi uduk yang dibeli di dekat kosanku itu memanglah terkenal nikmat. Apalagi saat itu aku sedang lapar. Namun, saat aku naik tangga penyeberangan dan melihat wanita tua itu, tiba-tiba saja ada suatu dorongan yang kuat untuk aku memberikan saja nasi uduk itu kepadanya. Aku tidak suka dengan dorongan yang entah darimana itu. Gimana caranya? Ini kan untuk sarapan dan sumber energiku bekerja di kantor? Masa diberikan kepada wanita itu? Aku sungguh berontak dalam hati. Aku meminta toleransi untuk memberikan hal lain saja, misalnya uang sekian ribu rupiah saja. Aku berusaha menyelamatkan nasi uduk itu dan rencana sarapan pagi nikmat di kantor.
Waktu terus berjalan, aku akhirnya tiba lebih dekat dengan wanita itu. Proses negosiasi dalam diriku untuk memberi atau tidak nasi uduk itu belum mencapai kesepakatan. Namun, entah bagaimana, kejadiannya begitu cepat. Tepat saat aku melintas di depan wanita itu, tanganku tiba-tiba mengambil bungkusan nasi uduk itu dari tas ku dan langsung memberikannya pada wanita itu. Wanita itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih yang seperti berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meskipun aku bahagia dengan ekspresi bahagia wanita itu, namun tak urung, hati besarku marah-marah di dalam diriku. Kenapa dikasih??? Aku juga lapar!!! Aku merasa bersalah pada diriku karena tidak jadi memberikan diriku makanan enak itu. Dan aku juga merasa bersalah pada diriku karena merasa bersalah telah menolong orang lain yang mungkin lebih membutuhkannya daripada diriku. Sebenarnya waktu itu aku memang kesal dengan tindakan tanganku yang tidak kompak. Entah siapa yang menginstruksikannya memberikan nasi itu pada ibu itu. Tapi kemudian aku berpikir, itu sebenarnya tidak salah. Memberi kepada orang yang membutuhkan tidak akan pernah salah. Yang salah adalah kondisiku. Kenapa aku harus sebegini miskinnya sehingga tidak bisa membantu orang lain yang berkekurangan? Padahal aku memiliki peluang yang lebih besar dan diberikan banyak kesempatan yang lebih besar oleh Tuhan. Seharusnya aku bisa menolong orang lain. Dari saat itu, aku berniat untuk berjualan kue sehingga bisa membagi-bagikan sebagian dari kue yang kujual yang kubeli dengan harga yang lebih murah itu pada para peminta-minta di pinggir jalan atau bila misalnya ada kue yang sisa dari jualanku.
Itulah sekilas niat baik dalam hatiku waktu itu, sehingga aku sangat bersemangat untuk memulai bisnis itu. Kembali ke kondisi di pasar pagi, aku akhirnya membeli beberapa produk kue dengan harga yang bervariasi. Pagi itu Kak P selesai belanja langsung berangkat kerja. Aku pulang ke kosan dulu mengingat saat itu masih jam tengah 5 pagi. Aku pulang ke kosan dan menatap semua kue dan roti yang sudah kubeli. Aku merapikannya di wadah berbentuk kotak-kotak plastik sejenis tupperware biar kondisi dan bentuknya tidak berubah selama perjalan panjang di angkot. Aku merasa lelah dan mengantuk, namun semangat di dalam diriku lebih kuat dari semua itu. Aku berdebar-debar nervous memikirkan bagaimana aku akan membawa produk itu dan bagaimana kira-kira pendapat teman-temanku di kantor mengenai produk itu.
Aneka kue dan roti itu ternyata tidak seringan yang kuduga. Untuk membawanya dari kosan ke angkot butuh mengerahkan tenaga dalam. Wadah roti dan kue yang harus di masukkan ke dalam kardus juga ternyata tidak sesimpel yang kubayangkan selama ini. Aku berangkat kantor dengan membawa wadah dibungkus plastik hitam seperti buntelan besar itu. Sungguh kontras dengan penampilan ke kantorku yang manis dan rapi. Tapi aku tidak mempermasalahkan keberatan dan kerepotan itu. Sekali lagi, aku terlalu bersemangat.
Aku naik kopaja P20 dan mencari tempat duduk paling depan di samping sang driver dimana aku bisa punya tempat luas untuk meletakkan wadah kue dan roti itu. Bila sudah tiba dalam posisi itu, rasa lelah sehabis mengangkat wadah itu lumayan terobati. Yang menjadi masalah adalah bila si supir kopaja sering mengoper-oper penumpangnya ke kopaja lain. Hal itu sering sekali terjadi setiap kali aku naik kopaja. Dan hal itu tidak akan jadi masalah bila aku hanya membawa bodi. Hanya kali ini aku membawa wadah besar dan sangat repot bila harus pindah-pindah angkot dengan wadah sebesar itu. Dan bisa dipastikan, di angkot baru aku tidak menemukan tempat duduk karena sudah penuh. Jadilah aku bergelantungan di angkot sambil tetap mengawasi wadah kue dan rotiku yang kuletakkan di lantai angkot.
Aku berangkat lebih pagi dari biasanya untuk menjamin aku masih sempat untuk berpromosi sebelum sibuk dengan pekerjaan. Aku berangkat jam 6 pagi dan sudah tiba di kantor jam 7 pagi. Aku sebelumnya sudah menginformasikan ke teman-teman kantor bahwa aku akan membawa produk makanan untuk bahan sarapan dan berharap mereka semua menunda membeli sarapan sebelum melihat produk makanan yang kubawa. Sesampainya di kantor, aku tidak menemukan siapapun selain salah seorang karyawan yang emang datang lebih awal untuk beres-beres banyak hal di kantor.
Aku menginformasikan ke dia soal produk makananku dan aku masih belum menemukan form yang tepat untuk menjajakan jualan itu. Aku tau aku akan menaruhnya saja di pantry seperti yang dilakukan oleh penjual-penjual terdahulu. Namun aku merasa perlu untuk memperkenalkan terlebih dahulu produk-produk itu kepada team di departemen aku. Aku merasa membutuhkan dukungan moral dari mereka. Satu per satu teman2ku akhirnya tiba dan aku langsung menunjukkan jajanan yang kubawa kepada mereka. 2 orang rekan satu departemenku jadi orang pertama yang membeli roti.
Waktu itu sebenarnya aku malu, tapi aku benar-benar merasa akan lebih malu bila pulang dengan kue-kue itu tidak terjual sedikitpun. Itu sebabnya aku pasang muka tertembokku untuk menjajakannya. Seorang rekan kerja menyarankanku untuk menaroh jualan itu di pantry dan dia membantuku menaroh kotak tempat duitnya plus dilengkapi dengan label harga di setiap jenis produk. Dia juga sangat membantu dengan intonasi suaranya yang menggelegar, menginformasikan kepada teman2 dari dept lain tentang keberadaan kue-kue itu di pantry. Aku sangat berterima kasih padanya untuk hal itu. Akhirnya beberapa teman dari dept lain melihat juga kepada kue-kue di pantry itu dan membelinya.
Saat aku ke pantry, aku melihat mereka sedang memilih-milih kue dengan antusias dan bertanya-tanya tentang isi dalam roti-roti yang memang tidak ada identifikasi rasanya itu. Aku menjelaskan kepada mereka isi dari roti-roti itu. Aku memang membawa roti dengan beragam rasa dan bentuk waktu itu. Mereka mengusulkanku untuk menuliskan di roti itu keterangan mengenai rasa sehingga mereka tidak bingung untuk memutuskan membeli atau tidak. Aku pun menerima saran itu dengan senang hati.
Satu hal, aku sebenarnya sangat lelah dan ngantuk setelah bangun subuh –subuh untuk belanja. Aku juga lelah secara mental karena menahan rasa nervous dan malu saat pertama kali berjualan itu. Namun ketika aku melihat ekspresi salah seorang karyawati di bagian IT, aku merasa semua perjuanganku tidak sia-sia, dan aku merasa kelelahanku terobati seketika. Ekspresinya saat melihat kue dan roti yang kupajang itu adalah seperti ekspresi orang yang baru saja menemukan harta karun yang sangat berharga dan sudah lama dicari-cari. Aku sungguh terhibur dengan ekspresi senangnya itu dan rasanya aku menemukan kekuatan baru.
Hari pertama jualan itu, tidak semua jualan habis terjual. Ada sekitar 7 buah kue dan roti yang belum terjual. Hal itu membuatku tidak damai sejahtera. Aku mengingat cerita Kak P bahwa setiap kali dia jualan pasti habis hari itu juga. Aku merasa bertanggung jawab untuk menghabiskan jualan itu apapun caranya. Dan saat pulang kerja, aku sambil berjalan menuju tempat menunggu angkot, mencari-cari calon pembeli untuk ditawari roti-roti itu. Tapi aku takut ditolak... akhirnya aku tiba di tempat penungguan angkot dan masih merasa gelisah. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menawarkan jualan itu pada sekelompok security yang sedang berjaga di depan sebuah kantor di sekitar itu. Mereka seperti ragu-ragu pada awalnya, tapi akhirnya aku berhasil meyakinkan mereka bahwa itu produk enak dan halal, dengan setengah memaksa. Dan masih dengan tampang ragu mereka akhirnya membeli 3 roti dan membayarnya. Aku melangkah dari tempat itu dengan tampang puas 😀. Aku pulang dan membagi-bagikan sisa roti yang 4 lagi ke teman-teman di kosan. Hari itu aku sangat merasa bahagia, apalagi setelah menghitung pendapatan di hari pertama itu yang membawa keuntungan meskipun belum seberapa. Kepuasan terbesarku adalah karena aku telah melakukan apa yang dipaksakan hatiku untuk kulakukan. Note : DIPAKSAKAN!
Keesokan harinya aku kembali belanja bersama Kak P. Kali ini aku membeli produk yang berbeda lagi. Kali ini rasanya lebih mendingan karena acara belanjaku tidak lagi disertai urusan mengatur suasana hati yang nervous dan malu dan takut yang pada hari pertama begitu berkuasa. Hari ini aku datang lebih awal lagi dan tanpa banyak basa-basi aku langsung menatanya di pantry. Aku bersyukur dan berterima kasih lagi kepada teman-temanku yang menyambut antusias produkku dan khususnya pada beberapa temanku yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang menyenangkan ke berbagai pihak yang membantuku berpromosi. May God bless my friends.
Pada hari-hari berikutnya, aku masih tetap belanja dengan semangat yang tidak pernah padam. Sebenarnya secara fisik, tubuhku kewalahan dan mataku kelelahan karena berkurang jam istirahatnya. Dan pekerjaan di kantor juga, seperti biasa sangat sibuk. Di tambah lagi urusan tugas-tugas kampus yang sepertinya terlalu banyak dan rumit itu. Aku kelelahan secara fisik, tapi semangatku yang begitu besar membuatku tetap mampu berdiri tegak. Aku menemukan kekuatan baru dan kekuatan ekstra setiap hari dan memampukanku untuk beraktivitas. Semua kekuatan itu aku yakin datangnya adalah dari Tuhan. Dan saat itu aku rasanya sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada kue dan roti dan pada pekerjaan baruku. Aku setiap saat memikirkan roti-roti itu dan memikirkan akan belanja roti apalagi untuk esok harinya. Aku sekali-sekali ke pantry untuk mengecek sisa roti dan kue dan mengambil duit dari kotak duit yang kutempatkan di sana. Sistem jualannya adalah kantin kejujuran. Dimana orang-orang yang beli produk cukup menaruh duitnya di kotak yang sudah tersedia. Aku senang menghitung duit-duit itu dan aku senang menjadi bagian yang dibutuhkan orang-orang di kantor itu. Mereka begitu antusias dengan jualanku dan menanyakan produk-produk tertentu yang mungkin mereka suka tapi aku tidak jual pada hari itu. Dari situ aku mulai menganal lebih banyak orang di kantor itu dan mulai menghafal selera masing-masing pelanggan.
Saat pulang kerja, aku selalu membayangkan kue, pagi-pagi aku membayangkan kue, siang-siang aku membayangkan kue, sore-sore juga dan 99% isi kepalaku adalah segala jenis kue dan roti. Aku benar-benar jatuh cinta pada hal itu. Dalam bahasa Jawa : aku tresno karo kue 😀.Aku juga memikirkan peluang-peluang untuk berjualan kue di tempat lain. Seperti di kampus atau atau di tempat lain. Sungguh bagiku itu seperti suatu hal yang selama ini tidak pernah kusadari dan akhirnya dibukakan Tuhan kepadaku untuk menolongku keluar dari lembah
No comments:
Post a Comment