I promise to love you forever...every single day of forever
Sumber gambar: google
Aku sering baca dan nonton kisah-kisah romantis tentang proses lamaran seorang pria kepada kekasihnya. Biasanya si pria sudah menyiapkan cincin dan menunggu moment yang tepat untuk menyatakan niatnya. Pada saat yang dianggap tepat, si pria akan berlutut dan menyodorkan cincin kepada kekasihnya dan berkata “will you marry me?” lalu si wanita akan tampak kaget dan terharu dalam kebahagiaan yang besar. Lalu mereka berpelukan..!
Kemudian mereka menikah dan hidup bahagia selamanya 😍
Bayangan proses dilamar dalam suasana romantis seperti itu terpatri di dalam pikiranku dan berharap hal itu pun terjadi padaku.
Aku punya waktu yang cukup panjang untuk bermimpi dilamar secara demikian, karena aku baru ketemu jodoh pada umur 34 tahun. Katanya itu usia yang masuk kategori usia cemas. Semakin sering ditanyain kapan nikah dan semakin gencar didesak oleh keluarga untuk segera nikah. Terutama mamaku. Dia tampak stress dengan keadaan single ku di usia segitu.
Waktu itu aku memang belum punya pacar. Untuk waktu yang lama aku gak pacaran karena tak menemukan pasangan yang cocok. Tapi tetap sih, aku melakukan acara perkenalan dan penjajakan dengan beberapa pria. Tapi hanya sampai tahap penjajakan. Setelah tau tak ada kenyambungan, aku tak melanjutkan acara penjajakan itu, karena menurutku seperti buang2 waktu aja. Tiap aku kenalan dengan seorang pria biasanya aku cerita ke mama. Tapi hanya cerita aja, gak dibawa ke rumah buat dikenalin.
Pada saat aku berkenalan dengan pria yang saat ini jadi suamiku, aku merasa banyak dari kriteria yang aku cari yang aku temukan padanya. Tapi tentu saja tak secepat itu mengambil keputusan. Aku masih ingin penjajakan sampai beberapa waktu untuk lebih meyakinkan diri bahwa dia adalah orang yang tepat.
Di minggu ke dua proses penjajakan itu, mama ku sakit dan harus dirawat di RS. Waktu itu, si pria ini ngajak aku ketemuan sepulang kerja sekalian nganterin pulang. Aku bilang kalau aku lagi cuti karena harus temani mama di RS. Dia nanya apakah dia boleh datang ke RS untuk jenguk mamaku. Aku bingung. Merasa kurang nyaman juga, ini orang baru kenal kemarin. Tapi aku gak menolak saat dia mau datang. Hitung2 ini juga suatu bentuk proses penjajakannya.
Dan bener dia datang ke RS. Waktu itu udah sekitar jam 7 malam waktu dia nyampe. Lumayan jauh sih dari tempat kerjanya dan aku menghargai niatnya datang walaupun jauh. Aku pun mengajaknya ke ruangan tempat mama dirawat dan mengenalkannya ke Mama. Sebelumnya aku udah cerita tentang pria ini ke mama. Mama masih dalam kondisi lemes tapi walaupun begitu, dia tetap berusaha untuk menyambut kedatangannya.
Dan setelah sedikit bicara basa basi perkenalan, tiba-tiba saja mama ku langsung nanya ke pria itu, “Jadi, kapan kalian nikah?”
Waduh!! Aku kaget dan malu banget dengar pertanyaan itu. Terkesan ngebet banget mau nikah! Padahal aku yang lagi proses penjajakan aja masih berusaha agak jual mahal dan tahan harga 😁
Pria itu juga tampak kaget ditanya begitu dan bingung mau jawab apa. Secara kami baru kenalan 2 minggu. Belum tau juga akan dibawa kemana hubungan ini.
Aku sebenarnya kesel karena Mama nanya gitu. Tapi mungkin itu karena saking stress nya dia mikirin aku yang tak kunjung nikah. Jadi dia merasa perlu turun tangan untuk mempercepat prosesnya.
Untungnya, hubunganku dengan pria itu makin ada kemajuan. Kami merasa saling jatuh cinta dan nyaman dan nyambung untuk banyak hal. Sekitar tiga bulan setelah kenalan akhirnya kami jadian.
Pada suatu sore waktu kami dalam perjalanan pulang ke rumah naik KRL, pria itu menanyakanku tentang pesta pernikahan seperti apa yang aku inginkan. Mau adat atau tidak. Kapan kita bisa mulai daftar untuk kelas bimbingan pranikah di gereja.
Yah, emang sih, niat aku menjalin hubungan ini adalah untuk menikah dan bukan sekedar pacaran. Tapi bukankah seharusnya ada proses dilamar ya? Kok udah ngomongin detail2 pesta pernikahan?
Waktu itu, aku gak langsung jawab tapi balas bertanya: Ini maksudnya kamu lagi ngelamar aku, ya? Kok gitu doang sih caranya? Terus aku jelasin padanya cara dilamar yang aku impikan itu gimana.
Harusnya tuh dengan berlutut dan sambal memberikan cincin. Seperti di film2 gitu loh..what so called romantic!
Tapi dia hanya senyum2 dan tak begitu menanggapi kata2 itu. Dia terus sibuk lagi ngebahas tentang rencana dan detail persiapan pernikahan.
Pria ini yakin banget kali ya kalau aku pasti mau nikah sama dia 😀
Tapi sebenarnya aku juga membayangkan, aneh juga kali ya kalau dia beneran melakukannya. Melamarku dengan berlutut… di KRL 😁
Akhirnya, aku tak mempermasalahkan lagi urusan dilamar dengan cara berlutut itu. Kami sibuk dengan persiapan pernikahan, dan menghabiskan hampir 1 tahun untuk mengikuti kelas bimbingan pranikah di gereja yang juga banyak mengubah mindsetku tentang pernikahan.
Pernikahan adalah untuk 2 orang dewasa yang siap untuk memikul tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab untuk membentuk rumah tangga dalam kasih dan komitmen. Bertumbuh bersama dalam penyempurnaan karakter dan melakukan apa yang jadi panggilan Tuhan dalam hidup kami, baik sebagai pribadi maupun sebagai keluarga. Bahkan, menurut salah seorang pembimbing pernikahan waktu itu, tujuan menikah bukanlah untuk mencari kebahagiaan, tapi untuk memberikan kebahagiaan.
Jadi pernikahan bukan seperti di film2 yang tampak indah dan romantis2 saja.
Dan memang pria itu tak melamarku dengan berlutut dengan cincin, tapi dia memesan gedung dan catering tempat kita nikahan, membentuk panitia untuk acara nikahan, ngatur jadwal bimbingan pranikah kita di gereja, mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan dan segala macam persiapan lainnya.
Yah, walaupun tidak dengan gestur berlutut, tapi tindakan yang dia lakukan lebih dari itu.
Tapi saat ini setelah kami nikah, sering kali dia dengan bangga bilang, bahwa waktu itu dia tak melamar aku.
Tapi dialah yang dilamar oleh Mamaku waktu mereka pertama kali ketemu di RS dengan pertanyaan:
“Jadi, kapan kalian nikah?” 😅🙈
Hmm… ngeselin 😅
No comments:
Post a Comment