Aku berusia 35 tahun waktu baru pacaran dengan pria yang sekarang jadi suamiku. Usia yang kata orang-orang sudah memasuki usia cemas bila belum menikah. Mungkin karena itu juga, begitu keluarga tau aku dekat dengan pria ini, mereka langsung mendesak untuk segera menikah. Bahkan waktu adikku yang cowok merencanakan akan menikah dalam waktu dekat, keluarga sempat menyarankan kami untuk menikah duluan. Jangan sampai diduluin sama adikku. Istilahnya dilangkahin. Tapi aku dan pasangan berpikir bahwa kami butuh waktu dan persiapan yang matang sebelum menikah. Lagian menurutku, tak apa-apa kalau adikku mau nikah duluan, toh mereka udah pacaran lebih lama dan mungkin udah lebih siap.
Sambil menjalani masa penjajakan dan makin mengenal satu sama lain, secara bertahap kami melakukan persiapan pernikahan. Kami sepakat tak mau berhutang untuk biaya nikah mengingat akan banyak kebutuhan lain setelah itu. Jadi kami mengadakan resepsi yang sederhana aja. Menurutku pesta pernikahan adalah moment indah dimana kita bisa berkumpul dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang kita kasihi. Bukan suatu show atau pertunjukan untuk mengesankan orang-orang. Jadi yang mutlak perlu adalah pemberkatan dari gereja agar pernikahan itu sah menurut agama dan negara. Sementara untuk acara resepsi, tak mutlak harus begini harus begitu.
Mungkin karena itu juga, persiapan pesta pernikahan kami berjalan lancar, tak ribet dan tak pake drama. Selain sempat agak galau dalam memilih MUA dan gaun pengantin karena menyesuaikan dengan budget, aku tak begitu pusing dengan pernak pernik persiapan lainnya. Aku lebih concern pada persiapan mental dan spiritual sebelum memasuki dunia pernikahan yang sesungguhnya.
Untuk persiapan itu kami mengikuti kelas bimbingan pranikah di gereja dimana pasanganku berjemaat. Para pembimbingnya terdiri dari beberapa pasangan suami istri yang melayani di gereja itu sebagai penatua yang sudah menikah lebih dari 10 tahun dan sudah teruji kualitasnya dalam kehidupan pernikahan yang baik, bahagia dan bertumbuh.
Dalam bimbingan itu, kami menggunakan buku panduan dari Jonathan A. Trisna berjudul Two Become One, Membangun dan Mewujudkan Pernikahan Bahagia Sesuai Prinsip Alkitabiah. Para pembimbing menjelaskan aplikasi dari setiap bab yang kami pelajari dari buku ini dan beberapa contoh kasus yang sering terjadi dalam pernikahan. Aku bersyukur kami mengikuti kelas ini karena banyak memberikanku pencerahan.
Aku walaupun udah umur segitu, tapi masih banyak paradigma yang salah yang aku miliki terkait pernikahan. Aku berpikir bahwa pernikahan itu adalah sumber kebahagiaan yang hakiki. Hari-hari penuh cinta dan bunga-bunga di sepanjang jalan. Aku punya banyak ekpektasi yang tidak realistis terhadap pernikahan. Berpikir apapun masalahnya selama masih pacaran, kalau udah nikah pasti masalah selesai. Misal kalau waktu pacaran si pasangan malas bekerja, nanti juga kalau udah nikah pasti berubah. Apalagi kalau udah punya anak. Kisah putri-putri di negeri dongeng yang sering diakhiri dengan kalimat “kemudian mereka menikah dan hidup bahagia selamanya” masih terpatri dalam pikiranku. Padahal aku bisa melihat di sekitarku banyak pernikahan yang bermasalah bahkan berakhir dengan perceraian.
Beberapa hal yang mengubah paradigmaku dari mengikuti bimbingan itu adalah:
- Menikah bukan untuk mencari kebahagiaan, tapi untuk memberikan kebahagiaan. Untuk itu dibutuhkan seseorang yang sudah dewasa, menjadi pribadi yang utuh dan sudah selesai dengan dirinya sendiri sebelum memasuki dunia pernikahan. Karena kebahagiaan kita adalah tanggung jawab kita sendiri, bukan tanggung jawab pasangan, mertua, anak atau pihak lain. Kita tidak boleh menuntut orang lain untuk membahagiakan kita.
- Kita tak bisa mengubah orang lain, termasuk pasangan kita. Keyakinan bahwa seseorang akan berubah lebih baik setelah menikah, tidaklah benar. Seseorang mau berubah atau tidak, itu urusan dia dengan Tuhan. Bukan hak kita untuk menuntut.
Jadi ketika masih pacaran, aku menemukan ada sesuatu yang aku kurang suka dari pasanganku dan aku ingin sekali mengubahnya. Tapi dari pernyataan bahwa kita tak bisa mengubah pasangan, membuatku mikir. Kalau aku tak bisa mengubahnya, apakah aku bisa menerimanya seumur hidupku setelah kami menikah?
Aku mempertimbangkannya untuk waktu yang lumayan lama dan kemudian memutuskan bahwa aku bisa menerimanya. Karena kekurangan itu bukan sesuatu yang terlalu prinsip dan masih bisa ditutupi oleh banyak kebaikan lain yang dia miliki. Dan aku tau, tak ada manusia yang sempurna. Konsekuensinya adalah, aku tak boleh mengeluh saat nanti udah nikah dan terjadi masalah terkait kekurangan itu. Aku udah tau hal itu dari awal dan aku sudah siap dengan segala resikonya. Walau begitu tentu aku tetap berdoa agar pasanganku bisa berubah jadi seseorang yang lebih baik.
- Komunikasi seringkali jadi penyebab konflik yang serius dalam pasangan suami istri. Dibutuhkan komunikasi yang baik dari awal tentang bagaimana pasangan akan menyelenggarakan hidup berumah tangga nantinya. Termasuk dalam hal keuangan.
Awalnya aku agak sungkan bicara tentang keuangan, karena menurutku itu agak sensitif dan berasumsi bahwa suami pasti taulah kewajibannya. Tapi untuk menghindari masalah di kemudian hari, kami membahas tentang keuangan. Jumlah penghasilan masing-masing, system pengelolaan keuangan bila sudah menikah dan alokasinya untuk apa aja.
- Dalam pernikahan akan ada masa dimana kasih eros yang romantis dan menggebu-gebu saat baru menikah berubah menjadi terasa hambar. Apalagi bila mengalami berbagai masalah dan kesulitan dalam berumah tangga. Dalam kesulitan-kesulitan inilah kasih agape, kasih tak bersyarat, kita terhadap pasangan diuji. Kasih agape akan memampukan kita tetap menerima dan mengampuni pasangan.
Menikah dan hidup bahagia selamanya bisa saja terjadi, tapi ada harga mahal yang harus dibayar untuk itu. Dibutuhkan perjuangan, komitmen, kerja keras dan banyak stok pengampunan untuk mencapainya.
Bagiku mengikuti kelas ini ibarat mempelajari peta suatu daerah sebelum kita menuju ke tempat itu. Mempelajari risiko-risiko yang ada di depan. Tentu tak bisa menghilangkan semua risiko. Tapi dengan melihatnya dari awal, kita bisa meminimalisirnya dengan pemahaman yang benar dan persiapan yang matang.
No comments:
Post a Comment