Seorang psikolog Kristen bernama Lawrence J. Crabb menyatakan bahwa kebutuhan pribadi mendasar dari setiap orang adalah menganggap dirinya sebagai pribadi yang berharga.
Aku terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, dengan berbagai trauma yang terjadi pada masa kecil. Pertengkaran tiada henti, kata-kata kasar, makian dan sejenis ucapan merendahkan lainnya adalah makanan sehari-hari. Aku juga tidak melihat figur ayah yang baik. Ayahku akhirnya pergi meninggalkan mamak dan kami, anak-anaknya, saat kami masih kecil-kecil. Hal itu membuatku bertumbuh menjadi anak yang terluka dan mempunyai gambar diri yang buruk. Aku merasa keberadaanku tidak diinginkan dan tidak berharga.
Setelah aku dewasa, nilai-nilai yang dianut orang-orang di sekelilingku mempengaruhi juga gambar diriku. Hal yang dipandang bernilai tinggi adalah bila seseorang sukses secara materi, berwajah rupawan, menggunakan barang-barang branded, sudah menikah di usia sekian, sudah punya anak dan lain sebagainya. Saat melihat bahwa diriku belum memenuhi semua kriteria itu, aku merasa gagal.
Aku minder, merasa tidak berharga, tidak berguna, putus asa, dan stress. Terjebak dalam pencarian identitas, rasa haus akan kehormatan, ambisi untuk sukses demi mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Aku merasa insecure (tidak aman) dengan diriku sendiri. Sensitif, penuh prasangka dan mudah tersinggung. Cenderung menutup diri dari pergaulan sehingga aku tak punya banyak teman.
Dengan semua karakter bermasalah itu, aku berusaha untuk mencari jodoh untuk mendapatkan hubungan yang bahagia dengan orang lain.
Saat itu aku merasa tertekan karena belum menikah. Bukan saja karena aku merasa butuh untuk menikah, alasan paling dominan karena aku merasa hal itu mempengaruhi keberhargaanku.
Walaupun setiap hari doaku begitu kencang untuk minta jodoh, sampai berurai air mata, namun Tuhan tau apa yang lebih kubutuhkan. Aku butuh pemulihan gambar diri.
Gambar diri adalah bagaimana seseorang menilai dirinya, yang mana hal ini akan mempengaruhi perilakunya juga.
Bagaimana aku memandang diri sendiri akan mempengaruhi bagaimana aku bertindak. Bila aku menilai diriku berharga, maka aku akan bertindak sebagai wanita yang berharga. Hal itu juga berhubungan dengan bagaimana aku menilai orang lain. Bila aku berpikir positif tentang diriku, maka aku juga bisa berpikir positif tentang orang lain.
Bagaimana aku bisa menerima orang lain apa adanya kalau aku masih belum bisa menerima diriku sendiri?
Bagaimana aku bisa mencintai orang lain dengan cara yang sepatutnya bila aku belum mencintai diri sendiri?
Apa jadinya bila aku bertemu dengan jodoh dengan pola pikir yang masih salah? Kemungkinan besar aku akan membawa luka itu juga dalam hubungan kami sehingga bukannya bahagia, tapi aku malah membuat pasangan dan anak-anakku terluka.
Tuhan menuntunku melalui berbagai kebenaran yang kudengar yang mengubah paradigmaku tentang diriku. Satu firman di Alkitab yang aku renungkan adalah:
“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau” (Yesaya 43:4a).
Tuhan melihat hidupku berharga dan Tuhan punya rencana indah dalam hidupku. Tuhan menilaiku berharga apa adanya diriku.
Kenyataan bahwa aku melihat diriku dari sudut pandang yang salah telah menghambat pertumbuhan rohaniku. Aku menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengejar hal-hal yang sia-sia. Hal-hal yang aku kira adalah hal paling berharga menurut ukuran sukses duniawi.
Dalam buku The Purpose Driven Life – Rick Warren, aku mendapatkan banyak pencerahan tentang tujuan hidupku di dunia ini yang sesuai dengan maksud Tuhan.
“Merupakan kesalahan fatal untuk berasumsi bahwa tujuan Tuhan bagi hidup Anda adalah kemakmuran materi atau kesuksesan menurut pendapat umum, seperti yang dunia definisikan. Hidup berkelimpahan (dalam Tuhan) tidak ada hubungannya dengan kelimpahan materi, dan kesetiaan kepada Tuhan tidak menjamin kesuksesan dalam karir atau bahkan pelayanan. Jangan pernah fokus pada mahkota sementara.” ~Rick Warren - The Purpose Driven Life.
Aku kemudian menyadari bahwa hidupku berharga dan punya tujuan yang mulia. Kesadaran itu membuatku mulai melakukan beberapa upaya untuk mulai memaksimalkan potensiku agar bisa menggenapi rencana Tuhan dalam hidupku.
No comments:
Post a Comment