Photo by Alex Shute on Unsplash |
Bila ketika masih anak-anak aku suka baca buku cerita tentang dongeng putri-putri kerajaan, saat remaja aku mulai sering baca majalah Anita dan Aneka. Itu adalah beberapa majalah remaja yang populer saat itu sekitar tahun 90an. Majalah Anita berisi cerpen-cerpen baik kisah misteri, asmara dan kehidupan remaja. Majalah Aneka banyak memuat info tentang artis-artis lokal dan mancanegara. Di majalah itu juga biasanya ada pemilihan Coverboy dan Covergirl, yakni model sampul majalah tersebut. Wajah finalis coverboy biasanya ganteng-ganteng dan covergirl parasnya cantik-cantik.
Dari sering baca majalah itu, aku jadi punya kriteria pria yang aku ingin jadi pacarku. Minimal kayak coverboy itulah maunya.
Tapi hal itu tidak mudah bagiku, karena wajahku tidak
sebanding dengan para covergirl yang cantik-cantik itu. Aku secara fisik
menilai diriku sendiri berwajah pas-pasan. Tak cantik, tapi juga tak
jelek-jelek amat. Bukan jenis wajah yang bisa membuat seorang pria jatuh cinta
pada pandangan pertama. Aku butuh perjuangan panjang dan serius untuk membuat
seorang pria mengenal pribadiku dan akhirnya menemukan inner beauty di dalam diriku. Aku sendiri juga kesulitan menemukannya.
Bukan hanya soal penampilan fisik saja, aku juga orang yang pemalu, tertutup dan tidak mudah akrab dengan orang lain, apalagi dengan laki-laki.
Masalah lainnya adalah, aku tinggal di kampung, nun jauh di sudut Kota Sibolga. Jarang ada pria berwajah coverboy di kampungku. Kalaupun ada dia pasti akan naksir sama cewek berwajah covergirl bukan pada cewek berpenampilan menengah ke bawah sepertiku.
Aku sering membaca cerpen-cerpen remaja yang berkisah soerang pria tampan idola satu sekolah naksir sama cewek biasa-biasa saja. Dan tampaknya hal itu hanya ada di cerpen saja. Mungkin penulis cerpen itu sedang menceritakan apa yang jadi imajinasinya.
Mungkin karena itu aku suka membaca cerpen demi cerpen di majalah remaja itu, sambil membayangkan aku adalah salah satu tokoh dalam cerita itu. Seorang gadis yang biasa-biasa saja namun mampu menarik perhatian dan dikejar-kejar pria paling tampan seantero sekolah.
Setelah lulus SMA, aku merantau ke Bekasi dan bekerja di salah satu pabrik elektronik. Pada saat itu aku makin minder karena wajah pas-pasanku malah menjadi semakin diperparah oleh serangan jerawat. Banyak banget jerawat di wajahku! Aku sendiri sampai takut melihatnya. Segala macam obat yang aku coba tak mempan. Seolah keberadaan jerawat itu adalah suatu takdir yang harus diterima dengan lapang dada.
Pada saat itu, di pabrik tempatku bekerja, pada umumnya teman-temanku sudah punya pacar. Aku juga melihat sepupu-sepupuku yang sepantaran denganku sudah pada punya pacar.
Di perantauan, dimana aku jauh dari keluarga dan belum punya sahabat baik, aku berpikir keberadaan seorang pasangan adalah suatu kebutuhan primer. Aku melihat bagaimana teman-temanku diperhatikan oleh pacar-pacar mereka. Diantar jemput kemana-mana, makan ditraktir dan diajak jalan-jalan. Di kasih kado special. Di kasih bunga. Di kasih perhiasan. Diperlakukan dengan special seperti seorang putri. Tampaknya pacaran itu menyenangkan sekali.
Menjadi satu-satunya orang yang belum punya pacar di lingkungan orang-orang yang sudah punya pacar membuatku minder dan mempertanyakan keberhargaan diriku. Apakah aku pantas untuk dicintai?
No comments:
Post a Comment