Pesawat charteran yang akan kami tumpangi menuju site proyek di daerah Sumatera Selatan akhirnya tiba di Bandara Sukarno Hatta sekitar jam 12.00 WIB. Di jalan menuju ke pesawat aku melihat seorang pria yang juga akan berangkat ke proyek yang sama tapi dari perusahaan lain. Aku melihatnya dan kami saling tersenyum. Dia memiliki wajah dan penampilan yang termasuk kategori pria menarik di mataku.
Saat kami tiba di bandara tujuan, aku yang membawa banyak barang merasa kewalahan saat akan naik ke bus yang menjemput kami. Pada saat itu, seorang pria baik hati menolongku mengangkati barang-barang tersebut. Ternyata dia adalah pria berwajah tampan tadi.
Keesokan harinya sebelum berangkat ke area kerja di proyek, kami mengikuti sesi HSE Induction, yakni penjelasan tentang keselamatan kerja di site untuk pekerja yang baru datang. Kali ini aku bertemu lagi dengan pria itu yang ternyata adalah salah satu personel di bagian medis.
Minggu pertama aku di site, saat itu masih dalam masa berpuasa menjelang bulan Ramadhan. Karena di kantor tempatku bekerja hanya aku yang tidak berpuasa, jadi setiap pagi dan siang aku makan di kantin sendirian. Selain aku ada juga beberapa pekerja yang tidak berpuasa yang wajahnya masih asing bagiku, Hanya satu yang wajahku sudah tidak asing yakni pria tampan tadi. Dia juga tidak berpuasa. Sejak saat itu kami sering makan pagi dan makan siang bersama dan mulai berkenalan.
Setelah beberapa hari sering makan bersama, aku mulai melihat banyak sisi menarik dari pria ini. Dia selain berwajah tampan juga berperilaku bagus. Berbicara dengan ramah, sopan, punya selera humor yang baik dan bicara dengannya sangat menyenangkan. Di hatiku mulai tumbuh benih-benih perasaan khusus. Hanya dalam waktu seminggu aku merasa tergila-gila padanya. Aku begitu bersemangat saat menjelang jam makan tiba. Itulah waktu aku bisa melihatnya.
Setelah selesai masa lebaran, aku dan teman-teman yang lain makan bersama, tapi masih sering bertemu dengan pria ini. Kami akhirnya punya tim makan yang biasa makan bersama yang sering ngobrol dan becanda bareng. Namun walaupun rame-rame, aku tetap merasa ada yang special di antara kami berdua. Menurutku pria ini juga tertarik padaku.
Setelah lima minggu, tugasku di site akan segera berakhir. Aku merasa gelisah dengan kelanjutan hubungan kami saat sudah kembali ke kota asal masing-masing. Seharusnya pria ini melakukan sesuatu untuk memutuskan bagaimana hubungan ini akan berlanjut. Tapi dia tetap biasa saja. Hanya ngobrol dan becanda saat kami lagi makan rame-rame. Aku pun mulai memutar otak. Aku harus melakukannya. Aku akan mengatakan padanya bahwa aku menyukainya. Yah! Ini harus aku lakukan demi keselamatan hubungan ini. Aku tak ingin semua berakhir hanya disini.
Aku mulai menyusun skenario bagaimana aku akan menyatakan cinta pada pria ini. Namun aku begitu malu bila harus mengatakan langsung. Aku pun mulai menyusun tulisan di post it warna warni berisi kata-kata yang sudah kurangkai sedemikian rupa dengan kemampuan menulis terbaikku.
Hari kepulanganku semakin dekat, dan pria ini belum bertindak sebagaimana yang kuharapkan. Aku semakin gelisah.
Sebelum berangkat ke bandara, aku masih ke kantor dulu. Jadwal berangkat ke bandara adalah jam 12 siang. Sepanjang pagi sampai menjelang jam 12 siang itu, aku sibuk dengan skenarioku. Aku ingin sekali melakukannya dan melupakan segala risiko apapun yang mungkin terjadi. Tapi di sisi lain, rasa malu dan segenap pikiran rasionalku mencegahku. Waktu berlalu cepat, namun aku belum berhasil mengumpulkan keberanianku untuk bertindak.
Di tengah usaha mengumpulkan keberanian itu, secara mendadak aku diminta berangkat ke bandara sekitar jam 10 pagi karena suatu hal. Aku merasa terkejut sekaligus kesal dengan hal itu. Aku tak rela meninggalkan tempat itu dengan satu misi yang belum terlaksana. Tapi mau tak mau aku berangkat juga.
Dalam hati, aku merasa berat untuk pergi. Aku merasa meninggalkan sesuatu yang berharga yang ingin kubawa pulang namun tidak bisa. Aku juga merasa bersalah kepada pria itu dan kepada diriku sendiri karena tidak menunaikan apa yang didesak-desak sebagian hatiku untuk lakukan.
Aku menunggu-nunggu dia menghubungiku sekedar menanyakanku sudah nyampe mana. Namun tidak ada. Setibanya di Jakarta, sepanjang malam aku menantikan dia menghubungiku, Namun, tunggu punya tunggu, dia tak menghubungiku juga.
Pada saat itu, walau hati rasa sedih, seberkas harapan masih tersimpan, sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimkan sms padanya untuk menanyakan kabarnya. Dia menjawab singkat dan biasa…dan aku membalas lagi, dan dia tidak menjawab lagi. Aku merasa begitu sedih dan kecewa. Merasa seperti duniaku runtuh.
Sampai kemudian aku mulai bisa berpikir rasional bahwa dia mungkin memang sudah tidak available. Mungkin dia sudah punya kekasih atau sudah menikah? Aku juga mulai berpikir bahwa selama ini aku sudah terlalu GR mengira dia tertarik padaku. Dia mungkin cuma menganggapku teman biasa.
Dengan rasa penasaran, aku mencari info tentangnya di FB, mengetik namanya di kolom pencarian dan akhirnya kutemukan. Foto profilenya adalah dia dalam balutan jas hitam dan dasi warna keemasan bersanding dengan seorang wanita menggunakan gaun putih panjang, sebuah gaun pengantin. Rasa penasaranku terjawab sudah. Dia ternyata sudah menikah setahun yang lalu. Kenyataan itu membuatku lemes.
Butuh waktu lumayan lama untukku memulihkan rasa patah hati. Mungkin sekitar 4-6 bulan. Aku tau pria itu tidak salah apa-apa. Dia hanya bersikap ramah, sopan dan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Mungkin dia memang orang yang baik. Dia juga tak pernah merayu atau mendekatiku untuk suatu hubungan yang spesial. Semua hanya perasaanku saja yang aku kembangbiakkan tanpa terlebih dahulu mencari kebenaran tentang pria itu.
Seharusnya aku tidak cepat-cepat berasumsi bahwa dia tertarik padaku.
Seandainya dari awal aku sudah mencari tau tentang dia sudah punya pasangan atau belum, kan aku tak harus memupuk-mupuk perasaan cinta yang makin hari makin besar sampai akhirnya jadi sangat sulit untuk dilepaskan.
Namun aku memanjakan perasaanku. Menikmati sensasi jatuh cinta yang menggebu dan tak ingin melihat kenyataan.
Suatu kebodohan yang harus aku tebus di kemudian hari dengan harus menanggung rasa sakit hati untuk waktu yang lumayan lama. Satu hal yang membuang-buang energi dan waktuku yang berharga.
Belajarlah dari kebodohanku. Jangan berasumsi! Jangan memanjakan perasaanmu!
No comments:
Post a Comment