"Jangan pergi kesana! Kalau kamu pergi, kamu sedang menghitung mundur hari kehancuranmu sendiri!"
Begitulah bunyi nasehat keras dari seorang sahabat saat aku curhat tentang kegalauanku. Singkat dan padat namun berhasil membuatku bergidik ketakutan membayangkan bagaimana dampak masa depan dari keputusan yang akan kubuat waktu itu.
Ketika itu, dalam upayaku mencari jodoh, aku berkenalan dengan seorang pria dari luar kota Jakarta. Kami kenalan di salah satu situs dating online.
Dari awal kami berkenalan, aku merasa tertarik dengan pria ini. Aku menganggap pria ini begitu keren. Namun tampaknya dia tak punya rasa tertarik yang sama besarnya denganku. Terbukti dari dia tidak menanggapi dengan serius saat aku memintanya datang ke Jakarta untuk menemuiku. Alasannya sibuk dengan urusan kerjaan.
Aku yang waktu itu sangat tergila-gila pada pria ini berpikir bahwa itu alasan yang masuk akal. Bahwa aku harus memaklumi kesibukannya dan kalau bisa bahkan membuat urusannya lebih mudah dengan mendatanginya ke kota tempat tinggalnya.
Dengan pemikiran itu, hampir tiap hari aku mengecek tiket transportasi dari Jakarta ke kota si pria ini. Aku tak sabar ingin menemuinya. Aku ingin mengupayakan agar hubungan itu berhasil.
Namun aku ditahan oleh banyak sekali kebimbangan dan kegalauan terkait niat itu.
Kegalauan mulai dari masalah dana. Waktu itu aku sedang kuliah lanjutan dan aku butuh banyak biaya. Untuk kuliah dan biaya hidup sehari-hari pun aku berjuang untuk pemenuhannya. Sementara harga tiket ke kota pria ini tak sedikit. Lumayan banget.
Kegalauan yang terbesar adalah, aku tak mungkin mengatakan alasanku pergi ke kota itu secara jujur pada mamak (aku tinggal bareng mamak waktu itu). Kalau aku jujur, pasti Mamak tak mengijinkannya. Orang tua mana yang akan setuju anak gadisnya pergi ke kota lain menemui pria asing yang hanya baru kenalan di online?
Aku mulai berpikir untuk bohong dan bilang ke mamak kalau aku mau jalan-jalan ke luar kota bareng teman-teman kantor. Aku beberapa kali jalan dengan teman-temanku dan mamak biasa aja kok. Tapi, aku tak sanggup berbohong pada mamak. Aku terlalu mengasihi dan menghormati beliau untuk sanggup berkata bohong padanya.
Terjadi pergolakan besar di dalam diriku. Antara logika dan perasaan. Logikaku bilang, aku tak seharusnya bertindak sejauh itu. Tak seharusnya aku mengejar pria itu sampai segitunya. Dia juga tak menaruh rasa tertarik padaku. Responnya biasa-biasa saja.
Tapi perasaanku tak mau tau. Perasaanku benar-benar tergila-gila pada pria ini dan ingin segera menemuinya.
Terjadi pertentangan antara keinginan daging dan suara hati nuraniku. Apakah tindakan ini pantas? Apakah tindakan ini benar? Apa akibat yang akan terjadi bila aku melakukannya? Banyak banget pertimbangan di dalam pikiranku tapi aku tak bisa berpikir jernih.
Saking galaunya, aku yang biasanya jarang curhat ke orang lain, akhirnya merasa perlu untuk curhat juga. Aku curhat ke seorang sahabat yang kami biasa ke gereja bareng. Aku jelaskan padanya apa yang jadi kegalauanku. Saat aku minta saran, dia hanya berkata:
"Makasih ya udah percaya untuk sharing masalahmu padaku. Menurutku, kamu jangan pergi kesana. Kalau kamu pergi, kamu sedang menghitung mundur hari kehancuranmu sendiri!"
Udah, begitu doang!
Tapi aku begitu takut dengan istilah 'menghitung mundur hari kehancuran' yang dia katakan. Aku bayangkan hidupku selanjutnya seperti bom waktu yang dihitung mundur 5…4….3…2…1….lalu BOOM!! Meledak!
Karena itu aku segera membuang pikiran untuk pergi menemui pria itu.
Dan untungnya (atau sayangnya?) waktu itu hapeku hilang. Aku kehilangan kontak dengan pria itu. Aku tak berusaha mencarinya dan dia juga tak berusaha mencariku. Dia memang tampaknya tak tertarik padaku. Aku aja yang terlalu ngebet.
Aku kemudian sangat berterima kasih untuk nasehat sahabat itu. Aku membayangkan apa yang kira-kira bisa terjadi seandainya aku nekat menemui pria itu.
Dengan segala hawa nafsu yang memenuhiku waktu itu, kemungkinan besar kami bisa jatuh ke dalam dosa perjinahan. Terus mungkin aku bisa hamil di luar nikah.
Kalaupun pria itu mau bertanggung jawab, dia mungkin akan menikahiku dengan perasaan terpaksa. Dan karena dia tak mencintaiku, dia akan memperlakukanku semena-mena, bersikap semaunya dan tak memperdulikan perasaanku. Dan aku pun hidup mem’bucin’ sepanjang sisa hidupku.
Kalau ternyata pria ini tidak mau tanggung jawab, dia mungkin akan lari dan menghilang entah kemana. Aku yang baru kenalan beberapa bulan dan belum kenal cukup baik, pasti bingung, mau nyari kemana? Aku terpaksa menanggung sendiri akibat dari kesalahan itu. Menanggung beban malu dan tanggung jawab membesarkan anak tanpa suami. Mamakku dan keluarga besarku pasti sangat sedih dan kecewa dan malu.
Ah...seperti mimpi buruk!
Berada di titik tidak bisa kembali.
Mungkin dalam konteks lain, pergi ke kota lain untuk menemui pria bukanlah suatu hal yang salah. Namun dalam hal ini aku menilai tindakan itu bukanlah suatu hal yang pantas.
Bagaimana kita menilai sesuatu pantas atau tidak? Caranya dengan menjawab pertanyaan ini: Apakah aku akan malu bila orang lain mengetahui perbuatan ini? Kalau aku malu, berarti ini bukan hal yang pantas dilakukan.
Pada saat itu aku tak ingin siapapun tau bahwa aku ingin menemui pria itu dan memang itu bukan sesuatu yang pantas.
No comments:
Post a Comment