Pada awal aku pacaran dengan pria cinta pertama, aku pernah dapat nasehat berharga dari seorang wanita.
Wanita itu berkata, “Jagalah kekudusan selama pacaran. Kalau nanti kalian emang berjodoh, hal itu akan membuat pernikahan kalian menjadi makin indah. Dan bila ternyata kalian tidak jodoh, maka tidak akan ada kepahitan/sakit hati terhadap sang mantan”
Aku menyukai nasehat wanita itu. Suatu nasihat yang bagus untuk anak muda yang sering menyaksikan gaya berpacaran orang-orang di sekitarnya yang sudah tidak mengenal batas-batas kekudusan.
Sejak aku masih SMA, teman-temanku yang pacaran sudah berpengalaman dalam hal peluk-pelukan, cium-ciuman dan seterusnya. Mereka sering menceritakannya dengan bangga saat kami ngumpul. Saat itu, aku yang adalah satu-satunya jomblo hanya jadi pendengar. Hampir semua temanku yang pacaran melakukan hal itu. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya terpaksa menikah dini karena hamil duluan.
Di dalam keyakinan yang aku pegang, seharusnya seorang wanita dan pria hanya boleh melakukan hubungan intim alias hubungan seks hanya dengan pasangan yang sudah resmi menikah. Bila masih pacaran seharusnya belum boleh. Namun melihat di sekitarku orang-orang melakukan hal itu dan tampaknya bahagia-bahagia saja, aku sempat berpikir bahwa hal itu mungkin sudah jadi hal yang normal. Mungkinkah prinsipku menjaga kekudusan terlalu konservatif untuk jaman yang semakin canggih ini?
Setelah aku akhirnya punya pasangan dan kami mulai mempersiapkan pernikahan, aku kembali mendapat suatu nasihat yang berharga dari seorang paman. Beliau adalah orang baik dan bijaksana dan cukup aku hormati.
Saat aku mengenalkannya pada pria itu, Pamanku menyambutnya dengan hangat dan berkata, "Selamat ya..semoga hubungan kalian direstui oleh Tuhan"
Dari ekspresinya aku lihat tampaknya beliau senang menyambut pria itu. Dia yang biasanya agak pendiam, malah banyak ngobrol dengannya.
Sementara aku masih merenungkan perkataannya, “semoga hubungan kalian direstui Tuhan”.
Direstui Tuhan? Aku baru dengar istilah begitu. Biasa juga direstui orang tua atau keluarga.
Hubungan seperti apakah yang sekiranya akan direstui oleh Tuhan?
Dalam suatu ayat dalam Alkitab aku membaca pesan berbunyi begini: “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1 Petrus 1:15-16 TB)
Allah adalah Allah yang kudus, sehingga Ia ingin agar kita hidup seperti dia. Tuhan mau kita menjaga kekudusan di dalam seluruh hidup kita, termasuk dalam pacaran.r
Pacaran merupakan tahap untuk saling mengenal dan memahami. Dengan adanya sentuhan fisik yang belum seharusnya akan cenderung membutakan mata sehingga tidak bisa menilai dengan objektif calon pasangan tersebut. Tanpa pacaran yang kudus tidak ada pernikahan yang kudus.
Karena nasehat itu, aku lebih berkesadaran dengan apa yang kulakukan bersama pasangan saat kami bersama.
Namanya pria dan wanita lagi jatuh cinta, pasti ada keinginan untuk bermesra-mesraan atau bersentuhan fisik. Tapi setiap kali aku dalam situasi itu, aku disadarkan oleh nasehat sang Paman itu. Direstui oleh Tuhan. Dengan kesadaran itu, mulai menimbang-nimbang apa yang kulakukan. Bertanya apakah jenis hubungan seperti ini akan direstui oleh Tuhan? Apakah tindakan-tindakan kami ini akan direstui oleh Tuhan?
Setelah sekian lama menunggu, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan akhirnya mempertemukan ku dengan calon pasangan hidup yang selama ini aku doakan. Aku ingin sekali hubungan ini berhasil dan direstui oleh Tuhan sampai ke jenjang pernikahan.
Karena itu aku pun berusaha menjalani masa berpacaran kami dengan baik, berusaha agar kami tetap dalam batas hubungan yang sehat dan tetap menjaga kekudusan.
No comments:
Post a Comment