Rencanaku masuk kuliah di usia 19 tahun begitu lulus SMA, tidak berjalan lancar. Kemiskinan dan ketiadaan dana membuatku terpaksa menunda keinginan itu. Aku merantau ke Bekasi dan bekerja di sebuah pabrik elektronik untuk membantu perekonomian keluarga.
Walau begitu aku tetap punya tekad kuat untuk bisa kuliah. Aku kuliah di salah satu kampus karyawan di dekat pabrik tempatku bekerja. Pada saat itu aku berusia sekitar 23 tahun. Dalam rencana awal, usia segitu harusnya aku sudah lulus kuliah dan berkarir cemerlang dan bertemu dengan pangeran impianku. Tak apa-apa sedikit meleset dari rencana.
Aku begitu bahagia bisa kuliah.
Aku semakin tidak mempermasalahkannya karena ada satu hal yang berjalan sesuai rencana. Aku berpikir kuliah di kampus itu pada saat itu adalah suatu pengaturan yang tepat karena disitu aku pertama kali bertemu dengan pria yang jadi cinta pertama dan pacar pertamaku.
Pria itu juga adalah mahasiswa tingkat akhir di kampus itu. Dia berusia 2 tahun lebih tua dariku. Wajahnya memang tidak mirip coverboy, tapi segala kriteria yang aku dambakan dari seorang pria ada padanya. Secara fisik, latar belakang pendidikan, pekerjaan semuanya sesuai. Kami berasal dari suku yang sama, agama yang sama, semua jalan seolah terbuka lebar untuk keberlanjutan hubungan ini. Aku benar-benar yakin, dia adalah jawaban Tuhan atas semua doa-doaku selama ini. Aku berharap dia jadi cinta pertama dan terakhirku.
Proses perkenalan dan penjajakan di antara kami berlangsung dalam tempo yang singkat karena aku sudah langsung memberi lampu hijau. Aku langsung membuka lebar pintu hatiku untuk kehadiran pria ini dan tak ada keraguan sama sekali, dialah sang pangeran impian yang akan menjadi teman hidupku selamanya.
Aku bahagia akhirnya punya pacar.
Dia menjemputku pulang kerja dari pabrik, mengantarkanku ke kampus, dia mengajakku jalan-jalan, dia traktir makan, dia juga membuatku merasa special dan dikuatirkan. Biasanya aku kemana-mana nggak ada orang yang peduli, kali ini ada yang nanyain lagi dimana.
Aku mengenalkannya pada keluarga besarku dan kepada teman-temanku dengan rasa bangga. Seolah ingin berkata, aku juga punya pacar kok. Setelah sekian lama menjomblo, aku juga bisa dapat pacar yang bagus. Aku adalah wanita yang berharga.
Pada awal masa pacaran, aku merasa diperlakukan sangat spesial olehnya. Rasanya begitu berbunga-bunga Tapi masa-masa indah itu hanya bertahan sebentar saat baru jadian. Selanjutnya aku merasa hubungan itu makin tidak sehat.
Aku merasa usahaku lebih besar untuk menjaga kelangsungan hubungan itu. Sementara dia memperlakukanku dengan semaunya dan kurang menunjukkan rasa penghargaan.
Dia sering berkata kasar, mengataiku tolol atau goblok dan mengolok-olok kekuranganku di depan orang lain. Menurutku itu tak sepantasnya diucapkan kepada orang lain apalagi kepada pasangan. Awalnya aku protes tapi lama-lama menjadi terbiasa dan diam saja saat dia bicara begitu.
Aku sering merasa diabaikan. Dia jarang nelpon atau sms sekedar untuk memberi kabar. Kadang juga kalau di sms, balasnya lama banget. Setiap kali aku mengutarakan hal itu, dia pasti marah. Alasannya dia sibuk dan tidak selalu ada waktu untuk sms an. Dia malah menyalahkanku terlalu cemburuan dan terlalu banyak tuntutan padanya. Padahal aku merasa itu adalah hal yang sewajarnya orang pacaran.
Aku sering mempertanyakan dalam hati apakah dia benar mencintaiku atau tidak. Aku tidak merasa dicintai dengan cara yang sepatutnya.
Walau aku galau dan merasa ada yang tidak benar dalam hubungan ini, tapi aku bingung harus bagaimana. Saat itu aku berumur 25 tahun. Aku punya target menikah di umur 26. Aku takut kalau kami putus, aku akan susah dapat pacar lagi. Aku kuatir jadi perawan tua. Aku juga malu pada keluarga dan teman-temanku bila kami putus. Aku menganggap keberadaan pasangan itu mempengaruhi nilai diriku.
Aku tetap bertahan dan berharap hubungan kami berhasil dan berlanjut ke pernikahan dengan harapan bila kami sudah menikah, dia akan berubah jadi lebih sayang dan perhatian.
Sampai pada suatu hari sebuah kejadian membuat mataku terbuka.Pada suatu hari kami bertengkar hebat. Aku yang biasanya diam saja saat dia marah dan berkata kasar akhirnya mulai melawan dengan berbagai argumentasi. Hal itu tampaknya membuatnya semakin marah. Hampir saja aku ditamparnya, untung aja gak sampai terjadi.
Sejak saat itu, aku berpikir dan meyakinkan diriku bahwa aku tak ingin berurusan dengan pria itu lagi. Aku tak ingin punya suami model begitu. Aku juga tak ingin memberi anak-anakku ayah model begitu.
Aku pikir model pria seperti ini tak membuat suatu pernikahan menjadi bahagia selamanya. Masih pacaran saja dia sudah memperlakukanku dengan buruk, apalagi kalau sudah menikah. Bukankah masa pacaran adalah masa promosi? Dimana biasanya seseorang berusaha menunjukkan hanya sisi dirinya yang baik saja?
No comments:
Post a Comment