At age 20, we worry about what others think of us. At age 40, we don't care what they think of us. At age 60, we discover they haven't been thingking of us at all. Ann Landers.
Aku suka baking dan sering mencoba resep-resep baru. Aku senang bila menurutku rasanya enak. Walaupun orang lain berkomentar bahwa rasanya tidak enak, kurang ini itu, aku tak merasa terganggu karena bagiku hasilnya memuaskan.
Pada masa single di usia 30 an aku sempat merasa insecure. Pertanyaan kenapa masih single dan kapan nikah adalah hal yang paling kubenci.
Orang lain mungkin mengucapkan itu sebagai basa basi. Tapi berasa menancap di ulu hati karena aku juga punya persepsi bahwa seharusnya seorang wanita sudah menikah di usia segitu.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa wanita yang masih single di usia matang tampak aneh atau memprihatinkan. Aku tak ingin dinilai begitu oleh orang lain. Sehingga aku menuntut diriku untuk segera menikah.
Kemudian aku menyadari, aku tak bisa membiarkan orang lain mengendalikan bagaimana aku memandang diri sendiri.
Aku sakit hati atau terganggu dengan komentar orang lain terjadi atas ijinku sendiri. Saat aku merasa content dan bisa menerima diri sendiri apa adanya, seutuhnya, aku menjadi tidak terlalu memikirkan apa kata orang lain.
Namun kalau aku sendiri punya persepsi yang salah tentang diri sendiri, maka musuh terbesar bukanlah apa kata orang lain, melainkan apa kata diriku sendiri.
"Apa nanti kata orang?" adalah pertanyaan yang sering jadi bahan pertimbanganku dalam bertindak.
Apa nanti kata orang bila aku belum menikah di usia 30 an? Apa nanti kata orang bila aku tidak laku-laku? Apa nanti kata orang bila adikku menikah duluan? Apa nanti kata orang bila suamiku tidak tampan dan tidak mapan? Apa nanti kata orang bila aku tidak punya anak? Dan masih banyak pertimbangan lain yang diawali dengan apa nanti kata orang.
Tapi bila mau jujur, sebenarnya orang manakah yang dimaksud?
Orang mana yang sedang mengawasi dan mengikuti setiap tahapan hidupku untuk memastikanku berjalan di track yang benar sesuai dengan standar masyarakat umum?
Apakah ada orang yang benar-benar peduli untuk melakukan hal itu?
Apakah ada orang yang benar-benar memikirkan dan mempermasalahkan hidupku?
Pada umumnya orang sibuk memikirkan urusannya sendiri.
Mungkin ada beberapa orang yang memasukkan namaku dalam daftar topic gossip yang harus dibahas, tapi itu juga kan tak berarti apa-apa. Seperti orang yang suka bergosip pada umumnya, mereka hanya bicara sekilas saja biar ada topik obrolan.
Biasanya mereka bergosip untuk menghibur diri sendiri bahwa hidup mereka lebih baik. Ternyata ada loh wanita yang usia sekian masih jomblo. Alangkah malangnya dia. Kita bukan satu-satunya orang yang malang.
Namun walaupun aku sadar bahwa orang mungkin tidak begitu memikirkan kehidupanku, aku berusaha keras untuk memenuhi standar umum. Harus Mmenikah usia segini, punya anak minimal sekian, harus punya rumah, dll.
Seolah itu adalah suatu perlombaan yang diwajibkan.
Dalam buku The Purpose Driven Life, Rick Warren mengatakan bahwa hidup manusia di bumi adalah penugasan sementara.
Bumi merupakan suatu negeri asing dan rumah kita yang sebenarnya adalah di surga. Kita ditempatkan di bumi sebagai Duta Kerajaan Surga. Kita di bumi ini untuk suatu tugas yang harus dilakukan.
Sebagai duta yang ditempatkan di negara asing, kita mungkin perlu mempelajari budaya, cara dan sikap yang ada di negara dimana kita ditugaskan. Tetapi jikalau kita malah jatuh cinta atau sudah merasa betah dan nyaman di negara lain tersebut, dan lupa pada tugasnya, kita bukan lagi seorang duta melainkan seorang pengkhianat.
Oleh karena itu, kita harus mengerti bahwa tujuan hidup kita bukan untuk mencapai segalanya sesuai standar umum masyarakat di bumi ini.. Semua ini hanyalah sementara, kehidupan di bumi ini tidaklah kekal. Yang perlu kita lakukan adalah fokus pada penyelesaian tugas dan misi kita di dunia ini.
Saat kita menyadari siapa diri kita di hadapan Tuhan, kita akan mengetahui bahwa apa yang paling penting bukanlah apa kata orang lain tentang hidup kita, tapi apa kata Tuhan tentang hidup kita.
Tuhan menciptkan kita dengan suatu tujuan khusus dan mencapai tujuan itulah yang seharusnya menjadi perlombaan yang wajib kita kejar.
Bukan lomba cepat-cepatan nikah, lomba banyak-banyakan anak, lomba rumah paling besar dan lain-lain.
Seringkali yang membuat hidup kita berat adalah keinginan diri sendiri yang ingin dihormati orang lain. Kalau orang lain punya ini itu, kita ingin punya juga.
Keinginan daging, keinginan mata, keangkuhan hidup. Membuat kita berusaha mengejar hal-hal yang belum tentu harus kita kejar.
No comments:
Post a Comment