Accept gratefully |
“When we give cheerfully and accept gratefully, everyone is blessed.” – Maya Angelou
Aku punya tetangga, seorang wanita yang kemurahan hatinya bisa dideteksi dengan cepat olehku sejak awal kami berada di lingkungan ini.
Awalnya saat aku bagi-bagi kue buatanku ke para tetangga termasuk dia. Mereka semua menerima dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih. Namun berbeda dengan tetangga lain, tak lama kemudian wanita ini memberikan ku makanan kue-kue juga. Dan jumlahnya lebih banyak dibanding yang aku berikan. Ketika pertama kali menerima itu, aku sangat senang. Dalam hatiku berkata, ini nih model tetangga idamanku. Hubungan per tetangga an memang harus take and give.
Akan tetapi seiring berjalan waktu, aku jadi merasa agak segan memberinya sesuatu. Beberapa kali aku ngasih kue ke wanita itu, tak lama setelah itu dia selalu memberikan balasan kiriman kue yang jauh lebih banyak. Seolah berlomba untuk memberi lebih banyak dari yang dia terima.
Pernah suatu kali, aku beri dia 2 potong cake, tak lama kemudian dia membalasnya dengan memberikanku satu piring penuh donat, beserta piringnya dikasih.
Aku mikir, maksudku memberi padanya kan tulus, tak ada niat biar dapat balasan. Kenyataan bahwa dia selalu balas dengan lebih heboh membuat aku merasa seolah pemberianku adalah beban baginya. Bukan lagi suatu berkat.
Beban karena tiap dia terima sesuatu dia jadi mikir harus balas pakai apa. Kalau dia ngasih sekedarnya aja sesuai dengan makanan apa yang lagi dia masak sih nggak apa-apa, tapi ini kayaknya dia khusus beli hanya untuk memberikan balasan atas pemberian ku sebelumnya.
Karena itu aku jadi jarang ngasih makanan lagi ke dia. Bukan karena aku tak mengasihinya. Justru karena aku mengasihinya, aku tak ingin membebaninya dengan keharusan membalas. Tidak memberi kue-kue itu menurutku adalah suatu bentuk meringankan beban sang tetangga yang begitu murah hati ini.
Saat ini aku sedang merenungkan sikap wanita ini terkait diriku sendiri.
Selama ini aku punya prinsip, lebih berkat memberi daripada menerima. Kalau aku tak bisa memberkati orang lain, setidaknya aku tak nyusahin. Karena itu aku agak terbeban juga kalau ada orang yang memberi sesuatu kepadaku.
Bukan saja suatu pemberian besar, pemberian kecil sekedar ngasih tebengan aja aku jadi mikir, “Aduh, gimana cara balasnya kebaikan orang ini?” Apalagi kalau suatu pemberian yang secara materi bernilai agak mahal. Misal dikasih kado, ditraktir makan dll.
Setelah menikah, beban itu malah lebih banyak lagi. Aku bukan hanya menghitung pemberian orang lain kepadaku, tapi juga pemberian mereka kepada suamiku dan anak kami. Semua itu terasa menjadi beban bagiku pribadi yang aku tuntut pada diriku untuk membalasnya pada orang tersebut. Seolah aku punya utang.
Aku memang senang dapat pemberian dari orang lain. Mendapatkan sesuatu secara gratis. Tapi rasa senang yang aku dapatkan kadang tak sebanding dengan beban yang mengikutinya. Beban untuk segera membalasnya. Dan saat aku belum bisa membalasnya, aku merasa susah hati.
Aku punya teman di gereja yang suka ngajakin makan sepulang ibadah. Sekali dua kali sih aku oke untuk ditraktir. Tapi kalau keseringan aku jadi merasa nggak enak. Sering aku menolak ajakannya.
“Nggak enak ah, ditraktir mulu. Aku nggak nyaman.”
Begitu biasa aku berkata pada suami untuk menolak ajakan mereka. Aku ingin sesekali kami yang bayarin, tapi kenyataan bahwa keuangan kami masih begitu ngepas membuatku nggak tau kapan kami bisa mentraktir mereka balik sesuai dengan harga makanan di tempat yang mereka biasa traktir kami.
Jadi aku memilih nggak usah mau ditraktir lagi biar beban utang yang harus aku bayar tidak semakin menumpuk.
Selama ini aku tak menyadari dampak buruk dari sikap begitu. Aku pikir itu memang seharusnya. Karena aku tak ingin memiliki mental gratisan. Tapi kemudian aku sadar, caraku menyikapi pemberian orang lain ternyata kurang tepat dan seperti ingin membatasi berkat Tuhan dalam hidupku.
Suatu hari anakku diajak jajan sama Om nya. Adik iparku. Mereka memang sangat baik pada anakku. Saat mereka pulang, mereka bawa kantong belanja penuh makanan. Ini jajan bukan sembarang jajan. Ada beberapa jenis makanan dalam jumlah besar, cukup untuk kebutuhan jajan anak sebulan.
Tentu saja aku senang mereka melakukan kebaikan itu pada anakku. Tapi kemudian, lagi-lagi aku merasa terbebani.
“Aduh...gimana aku harus membalas semua kebaikan ini?”
Aku terduduk agak lama sambil memandangi tas belanja penuh makanan itu. Bukan lagi dipenuhi rasa senang, aku malah menyesali keadaanku. Kenapa aku masih miskin aja sih. Aku juga ingin ngasih ke orang-orang. Hal-hal seperti sungut-sungut itu memenuhi pikiranku. Membuatku susah hati.
Suamiku bertanya, “Kamu kenapa, kok tampak muram?”
Aku menjelaskan bahwa aku senang menerima pemberian orang lain, tapi menjadi merasa terbebani setelahnya. Aku bertanya pada suami, “Apakah ini berarti aku sombong?”
Suami berkata, itu adalah hal yang benar. Memang kita harus memikirkan untuk membalas kebaikan orang lain.
Namun jawaban itu kurang memuaskan bagiku. Aku masih duduk merenung di depan tas belanja itu, sampai akhirnya suara dalam batinku berkata kepadaku,
"Allow God to bless you!"
Ijinkan Tuhan memberkatimu.
Ijinkan berkat Tuhan mengalir dalam hidupmu
Suara itu terngiang dalam hatiku dan aku menjadi sadar. Iya juga, respon aku ini salah.
Dikasih sesuatu sama Tuhan kok bukannya jadi seneng tapi malah jadi susah?
Dimana rasa bersyukurku?
Tuhan bisa memberkatiku melalui banyak cara, termasuk melalui orang lain. Semua kebaikan itu adalah berkat dari Tuhan yang Dia salurkan melalui orang-orang di sekitarku. Mereka juga nggak akan ngasih kok kalau bukan Tuhan yang menggerakkan hati mereka. So just enjoy it. Just say thank you!
Note: pemberian disini tidak berlaku untuk hal gratifikasi, penyuapan atau hal lain yang mengarah pada tindakan korupsi ya. Hal seperti itu tentu tak boleh diterima.
Aku jadi ingat di tetanggaku tadi, yang karena selalu balas pemberian membuatku segan ngasih pemberian lagi. Gimana kalau Tuhan menilai sikapku seperti dia? Dikasih sesuatu biar aku senang tapi aku malah jadi susah? Bisa-bisa, demi rasa cinta Nya padaku, Tuhan jadinya nggak ngasih berkat karena malah bikin aku merasa terbenani.
Aku tetap setuju bahwa hubungan yang seimbang adalah hubungan take and give bukan take and take atau give and give. Namun aku juga mikir, bila seseorang ngasih aku A, aku tak harus balas dengan ngasih A juga kan? Aku bisa memberi hal lain yang sesuai kemampuanku.
Atau bahkan, aku tak harus membalas pemberian orang lain. Aku cukup mengucapkan terima kasih yang tulus dan mengirimkan doa terbaik bagi mereka.
Bila seseorang memberiku A dan aku juga membalas memberinya A, maka orang itu hanya mendapatkan apa yang diberikannya kembali. Namun bila aku tidak membalasnya, maka sebenarnya aku sedang membiarkan Tuhan yang membalas kebaikan orang tersebut. Sesuai dengan kemahakayaan Tuhan, Dia bisa memberikan balasan yang jauh lebih besar lagi.
Dengan tidak harus membalas, aku sedang mengijinkan berkat Tuhan mengalir pada orang tersebut.
Nikmatilah berkat-berkat Tuhan dengan penuh bersukacita dan rasa syukur. Ijinkan Tuhan memberkatimu dan memberkati orang-orang yang bermurah hati padamu.
No comments:
Post a Comment