Membuat Batasan Sehat dan Berkata Tidak Tanpa Merasa Bersalah
Bagaimana cara berkata tidak tanpa merasa bersalah (How to Say No Without Feeling Guilty)
Aku pernah lihat judul buku seperti ini dan aku pikir sepertinya berkata tidak adalah suatu hal yang sulit bagi sebagian besar orang, termasuk aku.
Berkata tidak seolah membuat seseorang merasa bersalah dan telah berlaku egois dan kurang peka pada kebutuhan orang lain.
Seringkali seseorang mengingkari suara hati nya yang berkata tidak dan malah berkata iya pada permintaan orang lain. Misalnya saat sebenarnya dia lagi ingin istirahat di rumah tapi begitu temannya mengajaknya ke suatu kegiatan, dia segera mengiyakan ajakan itu dan mengabaikan kebutuhannya untuk istirahat. Alasannya seringkali adalah perasaan nggak enakan untuk berkata tidak.
Begitu pun saat seseorang yang punya track record buruk dalam hal berutang datang lagi meminjam duit kepada kita dengan banyak narasi drama baru, padahal utang yang kemarin aja belum dibayar. Karena kita trenyuh dengan kisah dramanya yang setiap kali berutang selalu seperti begitu darurat, kita pun mau tidak mau meminjamkan lagi. Padahal dalam hati sebenarnya kesal dan merasa tidak yakin.
Dulu aku sering berkumpul dengan suatu kelompok pertemanan yang setiap kali ngumpul pasti membahas tentang teman lain yang sedang tidak ada di tempat itu, alias bergosip. Setiap kali pulang dari pertemuan itu aku merasa kepalaku begitu sakit. Pusing. Dan rasanya pikiranku jadi negatif semua isinya.
Aku tau bahwa aku tak suka bahasan tentang keburukan orang lain hanya untuk sekedar membahasnya, aku ingin memberikan solusi. Misalnya saat seorang teman dikatain bahwa dia bau badan, aku langsung mikir bagaimana ya solusinya biar dia bisa nggak bau badan lagi. Aku pinginnya pembicaraan itu membahas solusi bukan hanya masalah. Jadi ada gitu hasilnya waktu yang berharga yang sudah kami habiskan untuk percakapan itu. Tapi ya namanya orang lagi bergosip kan niatnya hanya mencari kejelekan orang lain. Tak peduli apa solusinya yang penting si objek gosip ini memang buruk! Titik!
Namun seringkali aku tetap ikut ngumpul dengan mereka walau aku tau hal itu tidak begitu sesuai dengan minatku. Karena apa? Selain karena ingin dianggap sebagai bagian, aku juga ingin disukai dan dianggap asik. Padahal kan saat mereka ngumpul tanpa aku bisa jadi aku adalah bahan gosip selanjutnya.
Menjaga batasan yang sehat akan apa yang kita ijinkan masuk ke pikiran kita melalui hal yang kita dengar atau lihat di berbagai media adalah sangat penting bila ingin hidup lebih damai dan bahagia dan punya lebih banyak waktu untuk fokus pada hal-hal yang lebih penting.
Kemampuan berkata tidak pada sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita perlu mulai diasah. Mengapa kita harus merasa nggak enakan? Mengapa harus merasa bersalah saat harus berkata tidak? Apakah demi berbuat baik atau dianggap baik oleh orang lain kita menjadi lupa untuk berbuat baik pada diri sendiri?
Aku merasakan saat pertama kali mencoba membuat batasan yang sehat dengan ibu mertuaku. Saat itu aku yang baru lahiran, mengalami perubahan hormon yang membuatku cenderung menjadi lebih sensitive, mudah merasa sedih dan sering menangis untuk hal-hal yang sepele. Saat itu aku juga berjibaku dengan urusan ASI yang kurang lancar dan membuatku makin merasa kacau.
Saat seperti itu banyak kali aku merasa si ibu ini mengatakan hal-hal yang menyakiti perasaanku. Mungkin niatnya memotivasi tapi aku menanggapinya seperti mengejek dan membandingkan. Hal yang mungkin pada situasi lain aku terima sebagai nasehat, kali ini aku anggap seperti kritikan.
Setiap kali kami berinteraksi aku merasa bahwa hatiku sakit pada perkataan dan sikap tertentu yang dia tunjukkan. Mengeringkan energi.
Lalu pada akhirnya aku mencoba untuk menjaga jarak. Aku menghindari bertemu dan berinteraksi dengannya selama beberapa bulan. Setiap kali ada acara keluarga yang membuatku bisa bertemu dengannya, aku tak ikut.
Bagaimana perasaanku pada masa itu? Takut dan penuh dengan tuduhan rasa bersalah dari dalam hatiku sendiri.
Tak terbilang berapa banyak kali aku mempertanyakan diriku, apakah aku melakukan hal yang benar? Bukankah ini adalah tindakan yang durhaka? Kan mertua adalah orangtua kita juga yang perlu dihormati? Apakah aku sudah melakukan apa yang berkenan kepada Tuhan dengan tindakan seperti ini?
Beribu bertanyaan dan keraguan di dalam hatiku. Tapi aku tetap bertahan pada tindakan jaga jarak itu sampai aku merasa benar-benar pulih dari segala sakit hati dan melepaskan diri dari harapan tentang hubungan mertua menantu yang ideal.
Setelah itu aku bisa bertemu lagi dengannya dengan perasaan damai dan tanpa sakit hati lagi. Aku menyadari ternyata penting banget menjaga batasan yang sehat itu untuk kebaikanku sendiri dan kebaikan orang lain juga.
Untuk kebaikanku karena aku menjaga diriku dari sikap dan perkataan yang mungkin akan menyakitiku lagi. Dan memberikan waktu bagi hatiku untuk pulih dulu sebelum memulai kembali dengan pemahaman yang baru.
Untuk kebaikan beliau juga karena kalau aku tidak menjaga jarak begitu, dia akan berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu baik-baik saja. Saat dia tau bahwa hal itu tidak mengenakkan bagiku dan membuatku tak ingin bertemu dengannya, setidaknya dia tau bahwa dia perlu belajar untuk memahami dan menghargai ku.
Seperti itu juga saat kita terus menerus meminjamkan uang pada seseorang, saat kita berhenti meminjamkannya uang, maka dia juga akan mulai belajar untuk lebih bertanggung jawab mengelola keuangannya sendiri. Tidak melulu bergantung pada pinjaman uang dari kita.
Berkata tidak dan membuat batasan yang sehat pada akhirnya akan membawa kebaikan walau awalnya terasa tidak nyaman.
Love yourself enough to set boundaries. Your time and energy are precious. You get to choose how you use your time. You teach people how to treat you by deciding what you will and won’t accept. - Anna Taylor