Thursday, April 25, 2024

Allow God to Bless You – Menerima Berkat Tuhan dengan Sukacita

Accept gratefully

When we give cheerfully and accept gratefully, everyone is blessed.” – Maya Angelou

Aku punya tetangga, seorang wanita yang kemurahan hatinya bisa dideteksi dengan cepat olehku sejak awal kami berada di lingkungan ini.

Awalnya saat aku bagi-bagi kue buatanku ke para tetangga termasuk dia. Mereka semua menerima dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih. Namun berbeda dengan tetangga lain, tak lama kemudian wanita ini memberikan ku makanan kue-kue juga. Dan jumlahnya lebih banyak dibanding yang aku berikan. Ketika pertama kali menerima itu, aku sangat senang. Dalam hatiku berkata, ini nih model tetangga idamanku. Hubungan per tetangga an memang harus take and give.

Akan tetapi seiring berjalan waktu, aku jadi merasa agak segan memberinya sesuatu. Beberapa kali aku ngasih kue ke wanita itu, tak lama setelah itu dia selalu memberikan balasan kiriman kue yang jauh lebih banyak. Seolah berlomba untuk memberi lebih banyak dari yang dia terima.

Pernah suatu kali, aku beri dia 2 potong cake, tak lama kemudian dia membalasnya dengan memberikanku satu piring penuh donat, beserta piringnya dikasih.

Aku mikir, maksudku memberi padanya kan tulus, tak ada niat biar dapat balasan. Kenyataan bahwa dia selalu balas dengan lebih heboh membuat aku merasa seolah pemberianku adalah beban baginya. Bukan lagi suatu berkat.

Beban karena tiap dia terima sesuatu dia jadi mikir harus balas pakai apa. Kalau dia ngasih sekedarnya aja sesuai dengan makanan apa yang lagi dia masak sih nggak apa-apa, tapi ini kayaknya dia khusus beli hanya untuk memberikan balasan atas pemberian ku sebelumnya.

Karena itu aku jadi jarang ngasih makanan lagi ke dia. Bukan karena aku tak mengasihinya. Justru karena aku mengasihinya, aku tak ingin membebaninya dengan keharusan membalas. Tidak memberi kue-kue itu menurutku adalah suatu bentuk meringankan beban sang tetangga yang begitu murah hati ini.

Saat ini aku sedang merenungkan sikap wanita ini terkait diriku sendiri.

Selama ini aku punya prinsip, lebih berkat memberi daripada menerima. Kalau aku tak bisa memberkati orang lain, setidaknya aku tak nyusahin. Karena itu aku agak terbeban juga kalau ada orang yang memberi sesuatu kepadaku.

Bukan saja suatu pemberian besar, pemberian kecil sekedar ngasih tebengan aja aku jadi mikir, “Aduh, gimana cara balasnya kebaikan orang ini?” Apalagi kalau suatu pemberian yang secara materi bernilai agak mahal. Misal dikasih kado, ditraktir makan dll.

Setelah menikah, beban itu malah lebih banyak lagi. Aku bukan hanya menghitung pemberian orang lain kepadaku, tapi juga pemberian mereka kepada suamiku dan anak kami. Semua itu terasa menjadi beban bagiku pribadi yang aku tuntut pada diriku untuk membalasnya pada orang tersebut. Seolah aku punya utang.

Aku memang senang dapat pemberian dari orang lain. Mendapatkan sesuatu secara gratis. Tapi rasa senang yang aku dapatkan kadang tak sebanding dengan beban yang mengikutinya. Beban untuk segera membalasnya. Dan saat aku belum bisa membalasnya, aku merasa susah hati.

Aku punya teman di gereja yang suka ngajakin makan sepulang ibadah. Sekali dua kali sih aku oke untuk ditraktir. Tapi kalau keseringan aku jadi merasa nggak enak. Sering aku menolak ajakannya.

“Nggak enak ah, ditraktir mulu. Aku nggak nyaman.”

Begitu biasa aku berkata pada suami untuk menolak ajakan mereka. Aku ingin sesekali kami yang bayarin, tapi kenyataan bahwa keuangan kami masih begitu ngepas membuatku nggak tau kapan kami bisa mentraktir mereka balik sesuai dengan harga makanan di tempat yang mereka biasa traktir kami.

Jadi aku memilih nggak usah mau ditraktir lagi biar beban utang yang harus aku bayar tidak semakin menumpuk.

Selama ini aku tak menyadari dampak buruk dari sikap begitu. Aku pikir itu memang seharusnya. Karena aku tak ingin memiliki mental gratisan. Tapi kemudian aku sadar, caraku menyikapi pemberian orang lain ternyata kurang tepat dan seperti ingin membatasi berkat Tuhan dalam hidupku. 

Grocery (Sumber: Unsplash)

Suatu hari anakku diajak jajan sama Om nya. Adik iparku. Mereka memang sangat baik pada anakku. Saat mereka pulang, mereka bawa kantong belanja penuh makanan. Ini jajan bukan sembarang jajan. Ada beberapa jenis makanan dalam jumlah besar, cukup untuk kebutuhan jajan anak sebulan.

Tentu saja aku senang mereka melakukan kebaikan itu pada anakku. Tapi kemudian, lagi-lagi aku merasa terbebani.

“Aduh...gimana aku harus membalas semua kebaikan ini?”

Aku terduduk agak lama sambil memandangi tas belanja penuh makanan itu. Bukan lagi dipenuhi rasa senang, aku malah menyesali keadaanku. Kenapa aku masih miskin aja sih. Aku juga ingin ngasih ke orang-orang. Hal-hal seperti sungut-sungut itu memenuhi pikiranku. Membuatku susah hati.

Suamiku bertanya, “Kamu kenapa, kok tampak muram?”

Aku menjelaskan bahwa aku senang menerima pemberian orang lain, tapi menjadi merasa terbebani setelahnya. Aku bertanya pada suami, “Apakah ini berarti aku sombong?”

Suami berkata, itu adalah hal yang benar. Memang kita harus memikirkan untuk membalas kebaikan orang lain.

Namun jawaban itu kurang memuaskan bagiku. Aku masih duduk merenung di depan tas belanja itu, sampai akhirnya suara dalam batinku berkata kepadaku,

"Allow God to bless you!"

Ijinkan Tuhan memberkatimu.

Ijinkan berkat Tuhan mengalir dalam hidupmu

Suara itu terngiang dalam hatiku dan aku menjadi sadar. Iya juga, respon aku ini salah.

Dikasih sesuatu sama Tuhan kok bukannya jadi seneng tapi malah jadi susah?

Dimana rasa bersyukurku?

Tuhan bisa memberkatiku melalui banyak cara, termasuk melalui orang lain. Semua kebaikan itu adalah berkat dari Tuhan yang Dia salurkan melalui orang-orang di sekitarku. Mereka juga nggak akan ngasih kok kalau bukan Tuhan yang menggerakkan hati mereka. So just enjoy it. Just say thank you!

Note: pemberian disini tidak berlaku untuk hal gratifikasi, penyuapan atau hal lain yang mengarah pada tindakan korupsi ya. Hal seperti itu tentu tak boleh diterima.

Aku jadi ingat di tetanggaku tadi, yang karena selalu balas pemberian membuatku segan ngasih pemberian lagi. Gimana kalau Tuhan menilai sikapku seperti dia? Dikasih sesuatu biar aku senang tapi aku malah jadi susah? Bisa-bisa, demi rasa cinta Nya padaku, Tuhan jadinya nggak ngasih berkat karena malah bikin aku merasa terbenani.

Aku tetap setuju bahwa hubungan yang seimbang adalah hubungan take and give bukan take and take atau give and give. Namun aku juga mikir, bila seseorang ngasih aku A, aku tak harus balas dengan ngasih A juga kan? Aku bisa memberi hal lain yang sesuai kemampuanku.

Atau bahkan, aku tak harus membalas pemberian orang lain. Aku cukup mengucapkan terima kasih yang tulus dan mengirimkan doa terbaik bagi mereka.

Bila seseorang memberiku A dan aku juga membalas memberinya A, maka orang itu hanya mendapatkan apa yang diberikannya kembali. Namun bila aku tidak membalasnya, maka sebenarnya aku sedang membiarkan Tuhan yang membalas kebaikan orang tersebut.  Sesuai dengan kemahakayaan Tuhan, Dia bisa memberikan balasan yang jauh lebih besar lagi.

Dengan tidak harus membalas, aku sedang mengijinkan berkat Tuhan mengalir pada orang tersebut.

Nikmatilah berkat-berkat Tuhan dengan penuh bersukacita dan rasa syukur. Ijinkan Tuhan memberkatimu dan memberkati orang-orang yang bermurah hati padamu.

Friday, April 19, 2024

Price and Value – Karakter Seorang Pria yang Lebih Berharga Dibanding Uang

Uang (sumber: Unsplash)
 

 A Gem Is Always A Gem. It'll Shine Bright like Always Even If You Put It in Charcoal. You Just Need To Open Your Eyes & Heart to Find Them in Human....”
Muhammad Imran Hasan

 

Salah satu tantangan yang dihadapi wanita single berkarir sukses adalah menemukan pasangan yang juga berkarir dan berkeadaan finansial setara bahkan lebih baik dari dirinya.

Memang, seorang wanita single yang bijak harus bisa berpikir rasional dalam hal finansial untuk memilih pasangan hidupnya. Apalagi bila si wanita ini adalah wanita pekerja yang bisa menghidupi dirinya sendiri dengan baik. Janganlah mau menikah dengan pria hanya bermodal cinta. Kesejahteraan keuangan keluarga adalah hal penting untuk dipertimbangkan.

Namun terkadang fokus pada uang membuat seorang wanita menjadi salah dalam menilai dan membuat keputusan memilih pasangan hidup.

Seperti kisah yang pernah terjadi pada seorang wanita, sebut saja namanya Mawar. Mawar adalah wanita cantik berkarir baik dan sedang diperhadapkan pada pilihan antara dua pria yang sedang mendekatinya untuk menikah.

Pria A, adalah seorang karyawan biasa di suatu perusahaan dengan penghasilan stabil namun terbilang pas-pasan. A adalah pria yang cerdas dan punya semangat belajar yang tinggi, namun karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang baik, A harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Sehingga dia tidak kuliah. Walau pria A sudah bekerja dengan penuh tanggung jawab dan disiplin, namun pendapatan yang belum seberapa dan tanggungan yang banyak membuat A harus bergaya hidup hemat. 

Saat dia main ke rumah Mawar, paling banter dia hanya bisa membawakan oleh-oleh martabak atau mengajak Mawar makan di tempat makan di pinggir jalan yang harganya terjangkau. Walaupun pria ini adalah pria baik, pekerja keras dan memperlakukan Mawar dan keluarganya dengan hormat, namun kenyataan bahwa dia datang ke rumah Mawar dengan naik angkot membuat Mawar dan orangtuanya cenderung menyepelekannya.

Sementara itu Pria B adalah seorang pria berpenampilan rapi dengan pakaian-pakaian branded. Dia mengaku bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan BUMN. Sesuatu yang walau belum diketahui pasti oleh Mawar kebenarannya, tapi melihat dari penampilan nya, membuat Mawar langsung yakin. Apalagi Pria B selalu datang ke rumah Mawar mengendarai mobil yang bagus-bagus. Mobilnya sering gonta ganti.

Dia sering membelikan hadiah untuk Mawar dan setiap kali mengajak Mawar makan ke luar, pasti itu adalah restoran kelas atas yang harganya lumayan mahal.


Tak butuh waktu lama, hal-hal materi itu langsung membuat Mawar tergila-gila pada Pria B. Bukan hanya Mawar, orangtuanya juga langsung menjatuhkan restu pada Pria B. 

Orangtua Mawar juga membedakan sambutannya pada pria A dengan sambutannya pada pria B. Pada A mereka ngobrol seadanya aja, nggak merasa perlu untuk sekedar menawarkan minuman. Sementara saat pria B datang, mereka langsung sibuk menyediakan suguhan makanan dan minuman lalu mengajak ngobrol dengan ramah.

Oleh bayangan akan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan bergelimang harta dan oleh restu orangtua yang mutlak pada pria B, akhirnya Mawar memilih B dan mereka pun menikah. 

Namun setelah menikah, barulah Mawar mengetahui siapa pria B yang sebenarnya. Ternyata B tidak se kaya yang dikira. Dia ternyata hanya seorang supir di sebuah perusahaan penyewaan mobil. Terang aja mobilnya gonta-ganti. Ternyata itu bukan mobil sendiri. Dan demi mendukung gaya hidup mewahnya, ternyata dia punya banyak utang di sana sini. Seperti keburukan itu belum cukup, ternyata Pria B bukanlah pria jujur. Seringkali dia berselingkuh dengan wanita lain yang dengan mudah didekatinya dengan segala harta materi yang dia tunjukkan.

Tinggalah Mawar yang menyesali pilihannya. Demi pria B mawar sudah melepaskan A yang sebenarnya punya kualitas lebih berharga. Karakter yang lebih berharga dibanding uang.

Karena hanya fokus pada uang dan materi dia menjadi mudah dibutakan oleh penampilan luar yang tampak mentereng. Sampai-sampai dia gelap mata dan mengambil keputusan penting yang salah.

 

-to be continued...

 

Thursday, April 11, 2024

Bagaimana Menyikapi Perkataan Orang yang Bikin Sakit Hati Saat Moment Silaturahmi



Menjelang hari raya, aku mendapati di media sosial beberapa nasehat untuk menjaga perkataan saat bertemu kerabat saat moment silaturahmi.  Untuk menghindari pertanyaan atau komentar tentang hal bersifat pribadi kepada orang lain kecuali dia sendiri yang mau membicarakannya.

Misalnya pertanyaan:

"Kapan nikah?"

"Kok belum hamil?"

“Kenapa kalian bercerai?”

"Kapan nambah anak?"

"Berapa gajimu?"

"Kok anakmu kurus banget, kok anakmu belum bisa ngomong?”

Apalagi bila kemudian membanding-bandingkan pencapaian seseorang dengan orang lain plus memberi nasehat tak diminta tanpa memahami perjuangan hidup yang sedang dihadapi orang tersebut. 

Misalnya, 

“Cepatlah nikah, apalagi yang ditunggu? Anak tante yang seumuran kamu udah nikah semua loh”

“Kok anakmu umur setahun belum bisa jalan? Anakku dulu umur segini udah bisa lari-lari”

“Anak jangan cuma satu dong, minimal 2 lah! Kasihan anak, biar ada temannya”

Karena pertanyaan dan komentar bernada sok tau sejenis ini bisa bikin seseorang merasa nggak nyaman, tersinggung atau bahkan sakit hati sehingga memilih untuk menjauh dari acara silaturahmi.

Menurutku pesan untuk menjaga lisan tersebut sangat baik agar semakin banyak orang yang berkesadaran bahwa hal itu memang sebaiknya dihindari. 

Apalagi bagi orang yang selama ini mengucapkan perkataan sejenis dengan maksud hanya untuk berbasa basi atau sekedar membuka obrolan.

Walau demikian, bukan jaminan bahwa seseorang akan bebas dari komentar kurang menyenangkan begitu karena tetap ada saja orang yang mungkin mengucapkannya. 

Orang tertentu yang mungkin tidak punya empati.  Orang yang punya rasa kepo terlalu tinggi. Orang tertentu yang merasa berhak mengetahui urusan pribadi orang lain, karena dia anggap bagian dari keluarga besar. Orang yang sulit mengendalikan lidahnya dari perkataan sia-sia tanpa memikirkannya terlebih dahulu dampaknya bagi orang lain.

Bila saat bersilaturahmi ternyata ada orang yang berkomentar begitu kepadamu, lantas apakah hal itu harus merusak hari mu?

Haruskah hal itu membuatmu begitu sakit hati? 

Apakah kita bisa mengendalikan mulut semua orang? Menuntut orang lain hanya  mengatakan hal-hal yang ingin kita dengar dan bikin kita nyaman saja? Apakah suasana hati kita harus ditentukan oleh tindakan orang lain?

Jagalah Hati Jangan Kau Nodai

Kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan perkataan dan tindakan orang lain. Yang ada dalam lingkup kendali kita adalah bagaimana kita menyikapi hal itu.


Apakah kita memilih untuk merasa terganggu dan sakit hati atas perkataan seseorang atau memilih untuk menjaga hati dan membersihkannya dari segala kepahitan.

Kitalah sendirilah yang bertanggungjawab untuk menjaga hati kita. Itu bukan tanggung jawab orang lain.

Ibarat seorang petani yang marah-marah karena hewan liar memasuki dan merusak kebunnya. Walau tindakan hewan liar itu salah, tapi si petani itu juga punya bagian dalam hal itu. Kenapa dia nggak memagari kebunnya dengan baik sehingga tidak bisa dimasuki sembarangan oleh hewan liar?

Mengapa kita tidak menjaga hati dengan benteng yang kokoh agar tidak mudah diporakporandakan oleh hal kecil dari luar?

Membangun sistem pertahanan internal yang cukup kuat sehingga serangan dari luar tidak mudah menembus dan menghancurkannya.

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.  (Amsal 4:23)

Hati adalah esensi keberadaan seseorang yang menentukan pemikiran, perkataan dan perbuatan nya. Sehingga sangat penting untuk selalu dijaga dengan baik.

Bagaimana Caranya Menjaga Hati?

Memahami Kecenderungan Diri Sendiri

Pernahkan kamu bertanya pada diri sendiri, mengapa kamu begitu marah dan tersinggung saat orang bertanya kapan nikah dll?

Apakah hanya karena hal itu masuk kategori urusan pribadi dan kamu tak ingin membicarakannya dengan semua orang?

Kalau hanya karena itu, tentu kamu tak perlu sakit hati hingga menjadi malas bersilaturahmi bukan?

Tentu ada alasan yang lebih kuat yang menjadi pemicunya. Bisa saja karena kamu memang tidak bahagia dengan hidup pribadimu.  Mungkin kamu ingin mencapai sesuatu yang dianggap hebat oleh orang lain, ingin membuktikan diri, mencari pengakuan dan penerimaan. Namun hal itu belum tercapai. Misalnya, mungkin kamu udah lama ingin punya anak tapi semua usaha yang kamu lakukan tidak kunjung berhasil.

Saat orang lain menanyakan hal itu, "kapan hamil?", maka seolah titik ketidakbahagiaan dalam dirimu ditekan tepat di pusatnya lalu kamu sakit hati. Lalu kamu menyalahkan orang itu telah membuatmu sakit hati. 

Padahal bila saja kamu punya persepsi yang baik tentang dirimu sendiri, merasa content dan bersyukur untuk apapun tahap kehidupan yang sedang kau jalani, maka apa yang dikatakan orang lain tidak akan begitu berpengaruh.

Biarkan Orang Lain Memiliki Pendapat Sendiri 

Biarkan orang lain mengucapkan pendapat dan nasehatnya baik diminta maupun tidak tanpa merasa terbebani harus memenuhi ekspektasi semua orang.

Hanya karena semua sepupu seumuran udah pada nikah bukan berarti kamu juga wajib kudu nikah pada umur segitu kan?

Karena setiap orang memiliki tujuan hidup yang berbeda sehingga perjalanan dan pelajaran hidupnya pun berbeda-beda. 

Hadir untuk Menjadi Berkat

Banyak orang memikul beban berat saat harus ketemu dengan keluarga besar. Takut datang memakai baju yang kurang keren, tas yang kurang branded, kendaraan yang kurang bagus dibanding yang lain, takut dianggap gagal dan lain-lain. 

Bagaimana kalau kita punya niat bersilaturahmi untuk memberkati orang lain?

Mungkin ada keluarga yang butuh teman bicara, butuh didengarkan, butuh kehadiranmu untuk meramaikan suasana,  ponakan yang butuh THR darimu atau sekedar senyuman manis yang kamu berikan  ternyata membuat seseorang bahagia dan merasa dikuatkan.

Dengan niat menjadi berkat, beban beratmu untuk harus dapat mengesankan orang lain menjadi berkurang dan hatimu menjadi lebih ringan.

Bersyukurlah

Moment raya ini pasti sudah kamu persiapkan dengan penampilan yang baik, pakaian, aksesoris dan hal-hal external lain yang baik untuk bersilaturahmi. 

Tapi di atas semua hal itu, pastikan kamu mempersiapkan hati dengan baik. Hati yang bersyukur untuk hidup yang Tuhan anugrahkan kepadamu. Hati yang bersyukur untuk waktu yang masih diberikan bisa bersilaturahmi dengan keluarga dan hati yang ingin memberi diri bagi kebaikan orang lain. Hati yang sudah selesai dengan pagar pelindungnya dan bersiap untuk memberkati orang lain dengan kehadiranmu.

Above all else, guard your heart, for everything you do flows from it. - Proverbs 4:23 

Allow God to Bless You – Menerima Berkat Tuhan dengan Sukacita

Accept gratefully “ When we give cheerfully and accept gratefully, everyone is blessed .” – Maya Angelou Aku punya tetangga, seorang wanit...