Bagaimana Mengubah Mental Miskin Menjadi Mental Berkelimpahan


Dang adong hepeng alias nggak ada uang adalah kalimat yang sejak kecil sering aku dengar diucapkan oleh orangtuaku. Kalimat itu seringkali membuat suatu keinginan terpaksa dilupakan. Mulai dari keinginan beli mainan, beli baju, ikut kursus atau untuk pergi jalan-jalan.

Beberapa waktu lalu aku bergumul tentang suatu seminar yang aku ingin banget ikuti tapi menurutku investasinya lumayan besar. Seminar itu akan diadakan sekitar 3 hari di sebuah hotel. Sebenarnya dari review yang aku lihat tentang seminar itu, dana segitu masih tergolong murah sih. Apalagi bila dibandingkan dengan manfaat yang bisa aku dapatkan nantinya.

Hanya aku merasa sayang mengeluarkan duit segitu. Aku berusaha mencari-cari pembenaran. Apakah seminar itu akan worth it? Mending duitnya buat ini itu blablabla. Namun, walaupun semua argumentasiku terdengar masuk akal, rasa tertarikku ikut acara ini tak berhasil aku padamkan.

Pro kontra di dalam diriku membuatku galau. Lalu aku mendapatkan insight lagi dari buku You are Badass, tulisan Jen Sincero yang ngebahas tentang perlunya kita mengubah belief tentang uang. Dari yang tadinya bermental kekurangan (scarcity mentality) menjadi bermental berkelimpahan (abundance mentality).

Abundance mentality adalah pola pikir yang berpandangan bahwa dunia memiliki cukup sumber daya, peluang, dan kebaikan untuk semua orang. Karena itu orang dengan pola pikir ini cenderung optimis. Lebih melihat kepada kemungkinan daripada keterbatasan.

Sebaliknya Scarcity mentality melihat sumber daya yang terbatas, sehingga cenderung berkompetisi dengan orang lain seolah takut tak kebagian dan berusaha menimbun apa yang dia punya seolah takut kehabisan. Mentalitas ini seringkali menghalangi seseorang mencapai tujuannya.

Aku menyadari bahwa aku masih punya kecenderungan bermental miskin. Berpikir uang itu langka dan susah diperoleh. Orang harus kerja keras bagai kuda bila mau punya lebih banyak uang. Makanya cenderung menumpuk uang karena takut kehabisan. Tentu perlu menabung untuk rencana keuangan ke depan, namun harusnya dengan pola pikir yang benar juga.

Karenanya aku berpikir bahwa aku perlu mengubah pola pikirku menjadi bermental berkelimpahan. Alih-alih berusaha mengubur keinginanku akan sesuatu hanya dengan perkataan “dang adong hepeng (I cannot afford that)”, mulai menggantinya dengan “Bagaimana agar aku bisa mendapatkan dana untuk itu ya? (How can I afford that?)”

Perubahan pola pikir akan mengubah perilaku kita juga karena adanya perubahan fokus. Yang tadinya kita focus pada kenapa nggak bisa, jadi fokus pada gimana biar bisa. Kita melihat suatu masalah dengan cara yang berbeda.

Jen Sincero sang penulis buku You are Badass itu juga memberikan satu ilustrasi yang begitu masuk akal bagi kalbuku. Begini kira-kira penjelasannya.

Bayangkan orang-orang yang karyanya begitu kita nikmati, misalnya lagu kesukaan kita yang dinyanyikan oleh musisi favorit kita. Kalau saja si musisi itu tadinya tak bersedia mengeluarkan sejumlah besar dana untuk investasi meningkatkan skill bermusiknya, kursus vokal, kursus musik, sewa studio untuk latihan dll, apakah kita akan bisa menikmati musik yang indah yang dia hasilkan saat ini?

Contoh lain, lihatlah hape yang saat ini keberadaannya begitu memudahkan hidup kita, seandainya orang-orang yang menciptakannya tidak mengupayakan dana untuk melakukan riset dan pembelajaran untuk itu, apakah kita akan bisa menikmati kecanggihan teknologi dari hape ini? Tidak kan?

Untuk mencapai sesuatu yang saat ini belum kita lihat bentuknya, ada harga yang harus dibayar. Dedikasi dan konsistensi untuk menguasai suatu bidang, termasuk uang yang diperlukan untuk meningkatkan diri.

Kita perlu memandang uang sebagaimana adanya dia, uang hanyalah sarana. Alat untuk mencapai sesuatu.

Dalam hal ini, aku ingin ikut seminar untuk mengembangkan diri. Pengembangan diri itu bukan hanya untukku sendiri. Pada akhirnya hasilnya juga akan dinikmati oleh orang-orang lain di sekitarku yang terberkati hidupnya dengan semakin maksimalnya  potensiku  di bidangku.

Tidak melakukan apapun hanya karena males mikir uangnya darimana akan membawaku tetap jalan di tempat. Itu bukan saja tindakan yang tidak adil bagi diriku sendiri tapi juga bagi orang lain.

Akhirnya aku putuskan untuk ikut seminar itu. Aku akan memaksimalkan potensiku dan menjadi berkat yang lebih besar bagi orang lain. 

Segera setelah aku mengambil keputusan itu, aku merasa damai sejahtera memenuhi hatiku. Lalu secara tak terduga, aku mendapatkan sejumlah besar dana yang aku butuhkan untuk ikut seminar itu. Wow! Kita memang disetting oleh Sang Pemberi Hidup untuk hidup dalam kelimpahan.

Popular posts from this blog

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain